Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Kliwon, Episode Mukena yang Berjamur di Bagian Dagu

14 Juni 2018   23:37 Diperbarui: 15 Juni 2018   00:03 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: islamidia.com)

Petang, menjelang salat Isya. Kliwon menunggu pengumuman dari pengeras suara Masjid, apakah esok benar jatuhnya tanggal 1 Syawal. Saat salat jama'ah Maghrib, imam salat sudah memimpin pembacaan takbir, tetapi itu belumlah pasti, sebelum pengumuman resmi dari pemerintah. Seperti tahun-tahun, sebelumnya, sesaat setelah Menteri Agama memastikan hari Raya Idhul Fitri, takmir Masjid akan segera mengumumkan melalui pengeras suara.

"Alhamdulillah," kata Kliwon saat pengumuman yang dfitunggu akhirnya terdengar dari pengeras suara Masjid kampung, yang disusul dengan takbir sebanyak tiga kali.

Begitu mendengar pengumuman itu, Pon dan Wage berlarian menunggu Masjid. Mereka akan mengikuti takbir keliling desa dengan berjalan kaki. Sebagian warga yang memiliki kendaraan bermotor mengikuti takbir keliling di Kecamatan.

Suara takbir menggema dari berbagai arah memenuhi angkasa. Suaranya berputar-putar, membumbung tinggi, seakan-akan mengalir deras menuju ke Sidratul Muntaha. Pon tampak semangat dengan membawa penerang dari bambu. Berjalan di sebelah kanannya, Wage dan dua temannya yang terus menggemakan takbir.

"Dari mana, Mbok?"

Kliwon langsung menyergap Legi dengan pertanyaan. Sebab sudah dari tadi ia menunggu istrinya tak tampak batang hidungnya. Padahal, tadi siang Legi mengajaknya membuat jenang dodol, kue andalannya setiap lebaran. Dodol buatan Legi selalu laris manis, dan tak mampu bertahan lebih dari tiga hari lebaran. Ludes semuanya. Tak memandang anak-anak, remaja, dan juga orang-orang tua, semuanya menyukai dodol itu.

"Tak kalah dengan dodol bermerdek," kata seorang tetangga saat lebaran tahun lalu. Legi yang dipuji hanya mendehem, dan mempersilakan tetangganya untuk kembali mengambil jenang dodol yang masih tersisa.

"Dari pinjam seterika," jawab Legi sambil lalu saja terus menuju kamar. Ia bergegas menyeterika baju lebaran Pon dan Wage. Kemudian menyeterika sarung dan baju Kliwon, meski sudah tiga tahun, menurut Legi baju suaminya itu masih pantas dipakai untuk takbir. Setelah semuanya selesai, Legi menyeterikan bajunya sendiri, dan juga tidak lupa mukenanya.

Perkara mukena, Legi sebenarnya sudah ingin menggantinya. Sebab mukena itu sudah terlalu tua usianya, setua usia perkawinannya dengan Kliwon. Pasalnya, mukena itu merupakan mas kawin perkawinanya dengan Kliwon, selain cincin emas seberat 1 gram, cincin yang kalaui dipakai seakan-akan ingin memetahkan dirinya sendiri karena terlalu kecil dan tipis.

Setiap Legi mengutarakan keinginannya soal mukena, Kliwon selalu bilang, mukena itu tidak saja kenangan perkawinan, lebih penting lagi, kalau mukena itu diganti habislah sumber amal jariyahnya. "Ingat itu," kata Kliwon.

Legi lalu surut kembali. Termasuk lebaran kali ini, ia tak juga bisa mengganti mukena lamanya itu. Padahal di bagian dagu mukena itu tidak saja sudah beberapa sobek kecil, tetapi juga sudah berwarna hitam seperti jamur, sebab selalu terkena sisa air wudu. Ia menitik air mata, bukan sedang menyesali kemiskinan yang membelitnya, tetapi sedang bersyukur ia masih tetap mampu bersabar terhadap kemiskinan itu.

"Ayo Mbok, sudah malam. Adonan sudah siap," kata Kliwon. Legi bangkit dari duduknya, dan segera mengajak suaminya membuat jenang dodol.

Suara takbir masih terus menggema, menyibak awan, menembus pintu langit. Mungkin juga gema itu membawa suara hati Legi ke haribnaan Gusti, tak ada yang tahu semuanya. Malaikat terkasih, Sang Jibril pun tak sempat tahu, kesabaran Legi dalam menjalani kemiskinan sudah sampai dalam Kemahatahuan dan kemahamurahan Gusti Alloh, tepat ketika suara takbir pertama menggema dari pengeras suara Masjid Dusun Bluwangan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun