Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Kliwon, Episode Baju Kok Kedodoran

31 Mei 2018   12:51 Diperbarui: 31 Mei 2018   13:04 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wage agak ogah-ogahan, ketika Simboknya mengeluarkan baju dari bungkusan koran dan menunjukkan baju koko lengkap dengan celana dan peci yang warnanya serasi, putih dipadu dengan tepian warna hijau pupus. Warna putihnya memang sudah sedikit pudar, dan ada noktah hitam di lengan kanan, tidak terlalu kentara karena sebesar biji jambu batu.

"Nggak mau baju bekas," kata Wage.

"Ini masih bagus," kata Legi.

"Tapi...."

"Wage, kamu nggak boleh begitu."

Air mata Wage mengalir begitu saja, meski tak terdengar suara tangisnya. Ia semalam baru saja cerita sama teman-temannya kalau mau dibelikan baju koko untuk salat tarawih. Wage sering dirasani kalau salat, mengaji di sore hari, tidak pernah menggunakan baju koko, dan ia meminta kepada Simboknya untuk dibelikan baju koko.

Wage sudah membayangkan, ia akan bercerita kepada teman-temannya, bagaiaman ia memilih baju di pasar Kecamatan, mencoba berkali-kali untuk mencari baju dengan ukuran yang cocok. Ia akan bercermin dan melihat betapa tampak 'alimnya dia menggunakan baju koko dan peci baru.

Kenyataan berubah. Tidak saja Wage tak mendapatkan baju baru, tetapi ia juga tak bisa membanggakan proses memilih dan membeli bajunya. Tetapi ia tak ingin membuat Simboknya sedih, makanya Wage menahan diri untuk tidak menangis, suara tangis memang mampu ditahannya, tetapi air mata tak mampu disembunyikan. Ia mengalir begitu saja.

Legi tentu saja ingin membelikan baju koko baru. Tetapi dana tak tersedia untuk itu. Saat dia mencuci dan mensetrika baju di rumah Pak Lurah, ia mendapatkan baju kok yang masih baru, tetapi sudah tidak dipakai lagi. Ketika ia meminta baju itu, Bu Lurah dengan senang hati memberikannya.

"Ya, sudah kalau nggak mau, saya kembalikan ke rumah Pak  Lurah."

"Nggak, Mbok. Saya mau memakainya, kok," kata Wage.

Wage mencoba baju itu, tanpa suara tangis, tetapi dengan air mata yang terus mengalir. Legi, juga tak mampu menahan tangisnya. Belum lagi selsesai memakaikan baju koko itu, Legi memeluk erat Wage, anak dan ibu itu menangis bersama.

"Simbok nggak boleh menangis."

"Ya, Simbok tidak menangis."

Sore hari, Wage memakai baju koko itu. Tetapi karena sedikir kebesaran, teman-temannya menertawakan dan mengolok-oloknya.

"Baju koko kedoroan, baju koko kebesaran."

Olokan itu saling sdambung menyambung dari satu anak ke anak klainnya. Wage tentu saja tak tahan mendengar olokan itu. Tetapi, ia menahan diri, ia bertahan tidak menangis. Ia mencoba membanggakan dirinya, di bulan puasa, bulan pernuh berkah ini, sudah bisa menggunakan baju koko, lengkap dengan celana dan pecinya. Wage mendongakkan wajah, memandang langit, dan ada senyum yang mengembang di bibirnya yang mungil.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun