Jangan terlalu heran, kalau Kliwon pandai benar membuat guyonan atau humor ala pesantren. Sebab, diam-diam, ternyata ia pernah menjadi santri pada masa kecil hingga mudanya. Ia belajar ilmu di bawah asuhan seorang kiai dari ahlul bait yang nasabnya  sampai kepada Rosululloh melalui Sayyidatina Fatimah.
Menurut cerita, Kliwon, semasa di Pesantren, kalau memasuki bulan puasa, para santri akan super kreatif menyiapkan takjil untuk berbuka puasa. Dalam urusan kreativitas inilah terjadi kisah maling yang kemalingan.
Pada suatu siang, kenang Kliwon, ia dan dua teman akrab satu kamar, sudah ancang-ancang akan menebang pisang di kebun milik kiai. Pisang tumbuh liar tak terurus di tanah dengan luas 23 hektar. Sampai di kebun, ternyata sudah ada rombongan lain yang sedang menebang pisang.
Kliwon dan temannya bersembunyi di rimbunan perdu, dan melihat rombongan itu mulai menggali tanah untuk menyimpan pisang curian itu. Setelah pisang dimasukkan dan diberi daun petai cina, lubang itu ditimbun kembali. Di atasnya, rumput dirapikan seperti tak ada pisang di dalamnya.
Setelah rombongan itu pergi, Kliwon menggali simpanan pisang itu dan memindah ke lubang yang mereka buat sendiri. Seperti rombongan sebelumnya, Kliwon juga merapikan kembali tempat penyimpanan pisang, sehingga seperti tak ada bekas galian. Tampak alami.
"Selesai," kata kliwon, sambil mengangkat tangan dan disambut dengan tepukan dari dua temannya. Sambil, bersiul-siul mereka meninggalkan lokasi peristiwa saling curi itu.
***
Pada suatu waktu setelah berkeluiarga, Kliwon kedatangan tamu istimewa dari luar Kabupaten, bapak mertuanya yang sudah berusia lanjut. Giginya sudah tak ada lagi yang tersisa, sehingga kulit pipinya akan tampak masuk ke dalam ketika ia mengatupkan mulutnya. Kliwon pernah menawarkan untuk memasang gigi palsu, tetapi mertunya malah menjawab seenaknya, "nggak mau, kecuali juga dikawinkan lagi.
Legi sibuk, sehabis Asar ia sudah berkeliling kampung untuk mencari warung yang masih bersedia dihutangi dagangannya. "Kali ini saja, Mbak Yu," katanya di wearung Mbok Suro.
Ia ingin masak yang berbeda untuk bapaknya yang sudah tahunan tak pernah bertemu. Bukan karena tidak kangen terhadap bapaknya, tetapi biaya transportasi dan bawaan oleh-oleh menjadikan Legi menangguhkan rasa rindunya itu.
Maghrib tiba, azan sudah melengking-lengking dari musala kampung. Legi sibuk mengambilkan kolak untuk bapaknya, suami dan juga anak-anaknya. Setelah membaca doa berbuka puasa dipimpin bapak mertua Kliwon, Pon dan Wage mulai menikmati kolak kental dengan gula aren itu. Glek..., glek... glek.