Perbankan Syariah terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Bahkan menurut Bank Indonesia, pertumbuhan itu mencapai rata-rata 65% setiap tahunnya. Situasi ini tentu saja cukup menggembirakan, tetapi pada sisi yang lain sangatlah mengherankan. Pasalnya, setidaknya, sejak Undang Undang  Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disahkan, berarti pengembangan Bank Syariah belum lah terlalu lama dalam hitungan tahunnya. Meski sebelum diberlakukan Undang Undang itu, sudah mulai dirintis Bank Syariah dengan sistem pengelolaan bersama dengan Bank Konvensional yang mengembangkan layanan.
Pertanyaannya, apakah perkembangan itu semata-mata label syariah sebagai ikon promosi? Mungkin saja iya, tetapi melihat dari sisi label tentu saja menjadi sangat menyederhanakan masalah. Tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia--terutama umat Islam, sudah melesat begitu jauh, dan tak hanya sekadar mengandalkan simbol dalam melakukan tindakan-tindakannya. Kecerdasan bangsa ini, telah memasuki ranah kerangka kerja berpikir kritis. Sehingga ranah simbolik, hanya berperan sebagai pemicu melakukan penilaian-penilaian lebih mendalam.
Kemajuan perbankan syariah di Indonesia, tentu saja tak pernah lepas dari konsep dan gagasan dasar pengembangan Bank Syariah itu sendiri, yang secara cermat masyarakat menangkap gagasan ini. Misalnya, gagasan dasar Bank Syariah yang tertuang dalam bagian menimbang Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008, disebutkan Bank Syariah merupakan agenda pengembangan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Gagasan yang diharapkan akan mendukung tujuan pembangunan nasional Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi.
Apakah Syariah yang dimaksudkan dalam konsep ekonomi ini bersumber dari ajaran Islam? Tepat sekali. Dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 21 tahun 2008, ayat 12 dengan jelas disebutkan prinsip syariah yang dimaksudkan dalam Undang Undang merupakan prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Kepastian mengenai pemenuhan prinsip-prinsip Islam dalam Bank Syariah bisa dilihat dalam produk-produk yang dikembangkan dan ditawarkan kepada masyarakat yang mencerminkan penggunaan konsep-konsep Islam dalam bidang ekonomi. Sebut, misalnya, konsep wadi'ah, mudharabah, musyarkah, ijarah muntahiya bittamlik, murabahah, salam, istishna’, dan qardh. Kesemua konsep ini mendasarkan nalar bagi hasil, sehingga memberikan kemanfaatan penuh kepada masyarakat dan bank. Sebuah keadilan yang menjadi pondasi utama ekonomi Islam.Â
Sebab itu, penting bagi masyarakat dalam menggunakan jasa layanan Bank Syariah ini harus memastikan pada dua ranah utama sebuah tindakan sebagai menjadi prinsip dalam bermu'amalah dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, pastikan sebelum menggunakan jasa Bank Syariah, memasang niat dalam hati kerja sama dengan Bank Syariah sebagai ibadah dalam membangun ekonomi nasional. Bagi hasil dari dana yang dipercayakan kepada Bank Syariah merupakan bagian amal yang akan memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi seluruh warga negara Indonesia. Sebagaimana juga prinsip dalam Islam, innamala'malu binniyat, walikullimriin manawa (sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan setiap perkara itu akan ditentukan dengan niatnya).
Kedua, kepastian dalam melakukan akad. Dalam prinsip-prinsip Islam, akad merupakan pokok yang akan menjadikan suatu tindakan akan dianggap sah sebagai tindakan hukum atau dianggap hanya sebagai candaan belaka. Akad dalam Islam tak selalu berarti ada kesaksian, tetapi lebih bersandarkan pada kesadaran seseorang yang mengucapkan pernyataan. Sebagai misal, seorang suami yang penuh dengan kesadaran, mengucapkan kepada istrinya, "saya ceraikan kamu" atau dengan bahasa kiasaan "saya kembalikan kamu ke keluargamu" sudah bisa jatuh talak atau cerai, meski tak ada saksi sekalipun saat laki-laki itu mengucapkannya.
Dalam kasus Bank Syariah, maka saat melakukan akad untuk mempercayakan dana kepada bank harus benar-benar melakukan akad dengan sadar, tahu maksud dari setiap yang diucapkannya. Tak boleh seorang individu hanya mengiyakan saja yang ditawarkan pihak bank mengenai sebuah produk, karena dalam produk itu memuat prinsip syariah yang harus benar-benar diungkapkan dengan pemahaman dan kesadaran sepenuhnya si tamlik (pemilik dana yang akan dipercayakan). Sebab ini berbeda sama sekali dengan bank konvensional, yang semua konsepnya masyarakat sudah hampir mengetahuinya.
Dengan begitu, penyedia jasa layanan Bank Syariah, setiap menjelaskan kepada tamlik harus benar-benar dijelaskan makna, maksud dan substansi setiap produk yang akan dipilih si tamlik sehingga akad yang dilakukan benar-benar jelas dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Dengan demikian, Bank Syariah sebagai pihak yang akan dipercaya menerima dana juga menjalankan prinsip-prinsip syariah.
Saat kedua perkara ini bisa terpenuhi, betapa indahnya mempercayakan dana kepada Bank Syariah, melalui bagi hasil, tamlik akan mendapatkan keuntungan, Bank mendapatkan keuntungan, dan tentu turut berkontribusi dalam pembangunan nasional dan memeratakan keadilan dan kesejahteraan ekonomi di negeri. Dengan terpenuhinya prinsip dasar tadi, 'niat dan akad', tindakan pengguna jasa Bank Syariah akan dihitung sebagai ibadah dan tentu saja akan mendapatkan pahala dariNya.
Masyarakat yang cerdas, berpikiran kirits, selalu beramal sholih, dan memikirkan kesejahteraan dan kemaslahatan ummah sudah bisa dipastikan tak akan ragu lagi mempercayakan dananya ke Bank Syariah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H