Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desakralisasi Kekuasaan ala Jokowi

4 Maret 2017   08:26 Diperbarui: 4 Maret 2017   18:00 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Wiidodo (Jokowi) melakukan vlog pada saat jamuan makan bersama Raja Salman. Tidak tanggung-tanggung Presiden juga mengarahkan kamera persis pada saat Raja Salman makan dan dengan santainya Presiden memintanya turut memberikan komentar pendek. Kontan saja video video itu segera viral. Kali ini tak hanya di media sosial, tetapi juga merambah ke media televisi, media cetak konvensional dan media onlinek. Konon kabarnya, juiga mendapatkan respons dari media-media internasional.

Pertanyaannya, apa yang bisa dimaknai dari tindakan Presiden Jokowi dan viralnya video yang diunggahnya? Dalam konteks politik, tindakan Presiden Jokowi merupakan aksi melakukan desakralisasi kekuasaan politik. Sebuah penerimaan resmi kunjungan tamu kepresidenan, meski dalam acara jamuan, yang biasanya serba ketat tiba-tiba menjadi begitu sederhana dan menjadi peristiwa keseharian dalam konteks masyarakat pada umumnya. Umpama seorang teman yang sedang menerima kunjungan temannya dan mengajaknya menyiarkan vlog. Dengan begitu, Presiden sedang mengirim pesan, lembaga kekuasaan itu juga sebuah peristiwa keseharian seorang manusia, menggambarkan kesederhanaan seorang Presiden, tentu saja.

Masyarakat Indonesia dan juga masyarakat internasional menerima kesan dan melihat kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Indonesia bukanlah sebuah kelembagaan yang angker dan tak tersentuh. Melalui vlog Presiden Jokowi menjadikan kekuasaan itu sebagai situasi yang terbuka, personal dan terasa dekat dengan rakyat. Sebuah komunikasi politik dengan tingkat kepercayaan sangat tinggi dan efektif, ringan dan terpercaya, bahkan jika dibandingkan dengan laporan dari media konvensional sekalipun.

Meski sebelumnya vlog juga sudah dilakukannya, tetapi muatan peristiwanya tak mampu mengarah pada sebuah proses desakralisasi. Sebab vlog hanya dalam lingkup kegiatan rutin dan keseharian Presiden Jokowi. Tentu saja bobot desakralisasi yang terjadi berbeda jauh dengan vlog yang dilakukan dengan meminta Raja Salman turut berkomentar dalam sebuah kunjungan resmi kenegaraan dan jamuan makan siang. Sebuah video dengan durasi kira-kira 2,26 menit itu mengirim pesan informasi langsung kepada rakyat, tanpa melalui framing yang selalu dilakuikan media masa konvensional.

Tindakan desakralisasi merupakan strategi dalam berpolitik. Tindakan ini bisa mengundang simpati rakyat kebanyakan dan menjadi solusi bagi masyarakat keluar dari kejenuhan terhadap banjir informasi yang sering kali diragukan kebenarannya, diragukan akurasinya. Vlog, sebagai sebuah model siaran langsung sebuah peristiwa tidak memungkinkan atau mustahil mengalami pembingkaian. Dengan begitu, pesan yang terkirim menerobos seluruh sistem keprotokolan, dan seleksi ketat dari sistem lembaga kepresidenan.

Tentu saja, rakyat akan lebih percaya pesan pendek yang disampaikan Presiden Jokowi dan Raja Salman melalui vlog, ketimbang pesan panjang lebar yang disampaikan juru bicara presiden, para menteri dan ketua partai politik sekalipun.

Sebagai sebuah tindakan fundamental dalam desakralisasi kekuasaan itu, tentu saja tak akan sepi dengan pandangan yang berbeda terhadap sakralitas kekuasaan presiden. Sebagian tentu saja akan menilai tindakan Presiden Jokowi sangat norak dan tak layak dilakukan oleh seorang Presiden saat menerima kunjungan resmi pemimpin negara lain. Tak terlalu harus terlalu risau dengan penilaian semacam ini.

Sebab, setiap upaya deskralisasi atau lebih umumnya sebuah tindakan melakukan perubahan, pasti selalu saja menyisakan shock atau bahkan ketidakpenerimaaan bagi kelompok yang merasa dirugikan dengan perubahan itu. Sebab sebuah perubahan memang membutuhkan prasyarat keberanian menerobos aturan norman yang mapan, melawan nilai-nilai dominan, dan memungkinkan mengalami perlawanan atau serangan. Dan Presiden Jokowi melakukannya, bahkan dengan wajah yang merakyat dan mungkin juga tak mempertimbangkan segala risiko dari proses desakralisai kekuasaan itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun