Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Politik

3 Dampak Kebijakan Trump bagi Indonesia

1 Februari 2017   16:39 Diperbarui: 1 Februari 2017   16:41 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi boleh lega, Indonesia tidak termasuk dalam negara yang dilarang masuk ke Amerika Serikat dalam kebijakan keimigrasian Trump. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim. Meski begitu, Indonesia tetap akan mendapatkan dampak serius, terutama dalam peta hubungan politik luar negeri dan gejolak dalam negeri. Artinya, ini bukan soal warga negara indonesia yang kini tinggal di Amerika Serikat, tetapi mengenai ketegasan sikap terkait dengan hubungan internasional dan regional yang dibangun Indonesia.

Pertama, Indonesia menjadi salah satu anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Posisi Indonesia cukup berpengruh dalam organisasi negara-negara Islam di dunia. Dan tujuah negara yang mendapatkan larangan warganya masuk ke Amerika Serikat merupakan anggota OKI, yaitu Libya, Iran, Iraq, Yaman, Suriah, Sudan, dan Somalia. Situasi ini, tentu saja tak mudah bagi Indonesia dalam menyikapi kebijakan Trump. Indonesia tak bisa tinggal diam, hanya karena tak mendapatkan larangan, sebab OKI pasti akan mengeluarkan sikap kritis terhadap kebijakan Trump. Misalnya, pandangan OKI yang menyatakan kebijakan keimigrasian itu justru memberikan peluang dan tenaga bagi kelompok garis keras dan ekstrimisme dalam melakukan serangan-serangan yang lebih gencar.

Dengan sikap politik OKI ini, tentu Indonesia tak mungkin akan mengambil sikap tak turut serta dan berbeda pandangan dari OKI sebagai organisasi induknya. Manakala Indonesia turut bersikap kritis karena memandang kebijakan itu melanggar prinsip-prinsi utama bertetangga dengan non diksriminasi dan tanpa prasangka, bisa sangat mungkin kehangatan hubungan dengan Amerika Serikat yang digambarkan Presiden Jokowi tidak akan terganggu.

Kedua, dalam organisasi Negara-Negara Non Blok, negara-negara Iran, Libya, Suriah, Sudan dan Yaman juga menjadi anggotanya. Pada kontek Negara-negara Non Blok tentu posisi Indonesia semakin sulit. Sebab, gerakan ini diinisiasi oleh Presiden Soekarno dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. Tentu saja sikap tegas dan solidaritas terhadap negara-negara yang dilarang masuk ke Amerika Serikat harus ditunjukkan Indonesia sebagai salah satu inisiator penting darei terbentuknya Gerakan Non Blok ini.

Ketiga, gejolak dalam negeri. Seperti diketahui bersama, saat ini Indonesia sedang menghadapi persoalan intoleransi dan populisme berbasis agama. Bahkan situasi ini terus semakin menguat dan akan bisa meledak sewaktu-waktu. NU yang diandalkan turut serta dalam mengurangi tingkat intoleransi dan menguatnya kelompok garis keras, kini justru terseret dengan dijadikannya Rois Am Syuriyah PBNU sebagai saksi dalam kasus Ahok. Isu terakhirnya yang menguat, ada tindakan-tindakan yang dianggap tak etis terhadap Rois Am Syuriah PBNU yang dilakukan Ahok dan penasihat hukumnya. Manakala warga NU bangkit melakukan perlawanan terhadap AHok, tentu saja gerakan ini menjadi sulit dipisahkan antara tindakan tidak etis dan kepentingan politik kelompok yang selama ini bertikai.

Dalam menghadapi tiga dampak inilah Indonesia tak bisa bilang tidak akan ada dampaknya. Indonesia justru dihadapkan pada persoalan-persoalan rumit dalam kerangka solidaritas internasional dalam konteks OKI dan Negara Non Blok, dan menghadapi gejolak internal karena terbukanya peluang bagi kelompok garis keras dalam memanfaatkan perlawanan terhadap Amerika Serikat, seperti yang disinyalir OKI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun