Gerakan calon Kepala Daerah independen terus menguat dalam Pemilu Kepala Daerah serentak tahun 2017. Meski sudah bukan hal baru, calon independen maju dalam pertaruangan pemilihan Kepala Daerah, munculnya Ahok yang akan memilih jalur independen cukup menjadi magnet gerakan calon independen.
Menguatnya magnet calon independen bahkan telah mengguncangkan rumah tangga partai politik. Sehingga politisi partai yang saat duduk di kursi parlemen, buru-buru menggagas revisi UU Pemilu, dengan menaikkan jumlah dukungan bagi calon indpendent. Sebuah upaya menjegal calon independen, setidaknya ini yang berkembang dalam benak masyarakat kebanyakan.
Kota Yogyakarta, yang akan menggelar pemilihan Wali Kota tahun 2017 mendatang juga tak lepas dari euforia calon independen ini. Setidaknya, gerakan di Kota Yogyakarta berhasil menjaring calon independen yang akan mereka calonkan, tidak kurang dari 30 calon Wali Kota indipendent.
Sebagian nama yang muncul, antara lain, Garin Nugroho dan Butet Kertaradjasa. Dua nama tokoh kebudayaan, yang satu debutnya naik dalam dunia perfilman, yang satunya lagi naik dalam dunia panggung, tentu akan menjadi menarik dalam perhelatan Pemilukada 2017 mendatang. Elektabilitas mereka tentu saja dimungkinkan sangat tinggi, sebab keterkenalan mereka di Kota Yogyakarta.
Sebuah andaian lantas muncul begitu saja, menggelitik benak, membayangkan jika Butet-Garin memenangkan Pemilu dan memimpin Kota Yogyakarta. Sebagai bayangan imajinatif, kelak jika mereka menjadi Wali dan Wakil Wali Kota--memikirkan mereka saling tawar posisi saja sudah menggelikan--akan memunculkan dampak luar biasa; posisitf dan negatif.
Kita mulai dari positifnya. Pamor Yogyakarta sebagai kota kebudayaan dan kota pelajar akan segera menyeruak dan menunjukkan giginya. Kelak akan menjelma menjadi masa keemasan bagi para penggerak kebudayaan, seni tradisi, dan tentu saja angin segar bagi para pegiat filmnya.
Kita akan bisa disuguhi berbagai pentas kebudayaan secara terus menerus, tak putus-putus, dan bisa jadi Butet akan manggung terus, sampai lupa kedinasannya. Sementara Garin memiliki kesempatan memproduksi film sebanyak-banyaknya, dalam nuansa kebudayaan yang sangat kental.
Gerakan fundamentalis akan pupus, sebab aksi-aksi kekerasan yang akan mereka lakukan di Yogyakarta, bisa menjadi berabe, mereka akan terancam difilmkan, dan menjadi banyolan Butet di panggung kebudayaan. Gerakan fundamentalis akan kehilangan enggok menghadapi plesetan Butet, dan jepretan Garin Nugroho.
Negatifnya, saya membayangkan manakala Butet-Garin sedang melakukan sidang di gedung DPRD. Hujan interupsi yang dilayangkan para anggota DPRD itu, akan disambut dengan gaya plesetan Butet, yang bisa membuyarkan ketegangan. Lalu ger-geran.
Tetapi di sisi lain, anggota DPRD bisa jadi marah, dan uring-uringan, sebab Garin akan selalu berteriak 'CUT' manakala para anggota DPRD bicaranya sudah keluar dari skenario yang diharapkan Garin, tentu saja.
Dampak negatif yang langsung menimpa Butet-Garin tentu saja kemiskinan. Kesempatan manggung bagi Butet menjadi terbatas, dan kesempatan memproduksi film bagi Garin menjadi sempit ruangnya. Apalagi untuk menjadi bintang iklan, berperan dalam program televisi sentilan sentilun, bagi Butet tertutup sudah, lha wong pemilik TV-nya, marah karena partai miliknya kalah tanding.
Inilah imajinasi membanyol yang membuat saya menjadi tak sabar untuk menanti kesediaan Butet-Garin menjadi pasangan memimpin Kota Yogyakarta. Kita tunggu jaman keemasan bagi budaya di Yogyakarta, dan masa sengsara bagi Butet-Garin, tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H