“Cek IG kita dong sis..!!!”. Penggalan kalimat ini nampaknya sudah menjadi trend setter tersendiri di kalangan netizen dunia maya khususnya di media sosial Instagram.
Maksud dari penggalan kalimat diatas kurang lebih sebagai ajakan untuk melirik atau melihat koleksi dagangan para pelapak maya di instagram.
Sejak kemunculannya, Instagram telah menjadi pilihan utama pengguna media sosial dalam menjajakan dagangannya disbanding media social lainnya seperti facebook dan twitter.
Memang, platform dasar media sosial instagram adalah gambar atau foto sehingga memudahkan untuk display barang.
Maka tak heran, sebuah survey yang dilakukan oleh JackPat untuk melihat perilaku pengguna instagram di Indoneisa pada awal tahun 2016. Survey ini menjajaki netizen pada usia 16-35 tahun.
Survey tersebut menunjukkan, para instagramer lebih gemar melihat dan membuka akun online shop. Perilaku stalking online shop di Instgram ini menyentuh angka 53%.
Sementara, tidak sedikit pula pengguna instagram yang menghabiskan waktu untuk melihat humor lucu maupun mengekplorasi akun lucu. Persentase perilaku ini mencapai angka 51,6%.
Dan diurutan ketiga dan keempat ditemukan pengguna instagram gemar memposting foto-foto treveling mereka dan melihat postingan terbaru.
Belanja Di Ujung Jari-Jemari
Semenjak pengguna internet melonjak drastis di Indonesia, sejak itu pula perilaku belanja online melejit. Menurut survey Nielsen, pada tahun 2013 masyarkat Indonesia yang berbelanja di dunia maya hanya mencapai 9,4%. Lalu melompat jauh pada tahun 2015 hingga menyentuh 11,5%. Dan ini terjadi di kalangan anak muda.
Dalam hal frekuensi pembelian, produk-produk Fashion/Pakaian Olahraga adalah kategori yang paling populer dibeli secara online (68%) diikuti oleh Travel (35%) dan Kosmetik (29%). Sementara khusus perempuan, trend pembelanjaan didominasi pembelian produk Kosmetik, Perawatan Pribadi dan Bahan Makanan (F&B).
Masih menurut Nielsen, ada beberapa alasan sehingga masyarakat memilih belanja melalui jari-jemari mereka, yaitu:
Pertama, Melalui penelusuran maya, barang yang akan dibeli dicari tahu dahulu. Mulai spesifikasi, bentuk hingga harga. Dengan kata lain, pembelanja akan merasa terbantu dengan informasi yang didapatkan di dunia maya.
Kedua, Membaca review produk yang akan dibeli dari netizen lain yang pernah menggunakan barang yang sama.
Ketiga, Belanja online memudahkan untuk memperbandingkan barang yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat lebih memilih informasi dari dunia maya ketimbang dari penjaga toko.
Namun belanja online bukanlah tanpa cela. Ada satu hal yang banyak dikhawatirkan netizen sebelum membeli yaitu kepercayaan.
Ada kekhawatiran akan barang yang dipajang sama persis dengan yang dijajakan secara online. Sebab sejumlah kasus semacam ini sudah pernah terjadi, seperti memesan handphone namun yang terkirim adalah sabun mandi.
Sehingga, transaksi jual beli di dunia maya membutuhkan kepercayaan lebih ketimbang transaksi offline/dunia nyata.
Tak jarang pelapak di instagram secara tegas menekankan ke calon pembeli dengan mencantumkan istilah “No Tipu-tipu” demi memperkaya kepercayaan.
Fenomena seperti ini laiknya invasi. Jika dulu hendak berbelanja, kitalah yang harus menghampiri sesuatu yang hendak dibeli hingga mencium kaca toko namun sekarang perlahan segala sesuatu sedang dan bahkan telah berada didepan retina mata kita.
Selain butuh kepercayaan, kita juga harus punya pertahanan agar kita tidak “kalah” dengan deretan barang yang entah dari mana asalnya itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI