Mohon tunggu...
Farida Widyawati
Farida Widyawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Horor Mainan Baling-baling

17 Juli 2016   12:34 Diperbarui: 17 Juli 2016   12:48 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membelikan mainan untuk anak merupakan salah satu wujud pernyataan sayang dari orang tua untuk anaknya. Pemikiran orang tua dalam membelikan mainan untuk buah hati dimaksdukan agar anak senang dan bisa bermain dengan leluasa dan mendidik. namun pemikiran itu tidak selalu sama dengan harapan orang tua. Mainan bisa membuat petaka untuk anak dan orang tua, bahkan menjadikan anak trauma.

Kamis sore, 14 Juli 2016 sekitar pukul 17.15 WIB saya dan adik sepupu serta anak saya pulang dari belanja bulanan di swalayan dekat rumah. belanjaan saya turunkan dan simpan di tempat penyimpanan sesuai jenis barangnya. Anak perempuan saya yang baru berumur 2 tahun 9 bulan bermain dengan dua anak kakak sepupu (usia SMP kelas 3 dan SMA kelas satu) dan suami saya. Saya sedang berada di dapur dan ambil minum dari kulkas, tetiba salah satu dari mereka berteriak memanggil saya dengan heboh. Minum yang saya ambil buru-buru saya letakkan dan nyamperin mereka. saya lihat anak saya ad di pelukan salah satu dari mereka. saya kemudia melihat ke samping. Dan alamaaaakkk bukan main kagetnya saya ketika pengait baling-baling yang berupa kawat dengan diameter kira-kira 1,5 mm nyangkut di kelopak mata kiri anak saya. Saya coba keluarkan cait yang nyangkut itu namun tidak bisa.

Cepat pemikiran saya waktu itu adalah Rumak Sakit supaya diberikan pertolongan dari ahlinya. Tanpa pikir panjang, saya gendong anak sdengan satu tangan sedang tangan saya yang lain memegang mainan itu supaya kait itu tidak melukai lebih dalam lagi. Semua panik dan berteiak termasuk suami saya panik setengan mati. Namun saya hanya berpikir secepat mungkin tiba di Rumah Sakit dan anak saya diobati. Namun ketika sampai di halaman depan rumah, kait baling-baling dan mainan itu lepas dengan sendirinya tanpa saya ketahui. Adik sepupu saya mengambil tas dan kunci motor. Namun Kakak sepupu datang dengan mobil. Saya dan adik berlari menuju mobil. Darah keliuar dari kelopak mata dan anak saya terus menangis merintih sakit.

Saya tidak tahu kekuatandari mana yang ada pada saya waktu itu, saya menenangkan anak dan menghibur supaya sedikit lupa dengan sakit pedih di luka kelopak matanya. 5 menit kemudian sampai di IGD RSUD Kartini Jepara. Hayu meronta - rnta tidak mau diperiksa oleh dokter jaga. 2 perawat dengan saya memegangi tangan kepala dan kakinya sedangkan dokter memeriksa mata. Butuh perjuangan untuk bisa membuka mata si Hayu dan akhirnya dokter bisa sedikit membuka dan melihat konsidinya. Dokter mengatakan kalo hanya kelopak mata bagian bawah yang terluka, tidak mengenai bola matanya. Dokter menyarankan untuk segera ke dokter mata yang lebih ahli karna dia hanya dokter umum. Dan kebetulan dokter spesialis mata sudah pulang dan praktek di rumahnya, di daerah kota depan Stadion Kamal Junaedi Jepara. Dokter TIta namanya.

Tanpa menunggu lama, saya langsung keluar setengah berlari sambil menggendong Hayu menuju rumah Dokter Tita. Sepanjang perjalanan Hayu menangis kesakitan dan memeluk saya erat-erat. Tiba di rumah dokter Tita, saya harus berdebat dengan ART karena sang dokter sedang istirahat. Setelah 10 menit akhir Bu dokter keluar dan memeriksa. Perjuangan lagi saya harus meyakinkan Hau dan memegangi badan dan tangannya supaya dokter bisa memeriksa dengan baik.

Lega akhirnya karna dokter mengatakan cuma luka kelopak matanya saya, lainnya aman. Setelah diberikan tetes mata dan salep, tangis Hayu agak reda. Sembari menunggu obar yang diberikan, Hayu bisa tertidur. Kelar urusan obat akhirnya saya kembali ke rumah dengan sedikit lega. Malamnya pun Hayu tertidur pulas hingga pagi. Namun emaknya ga bisa tidur dan terus gemeteran membayangkan kalo seandainya tadi terjadi hal-hal yang buruk dari itu.

Nah masalah belum kelar ternyata, salah satu obat (suspensi) ternyata kadaluarsa (Februari 2016) dan sudah saya berikan sekali malam sebelumnya. Langsung saya angkat telpon dan memberitahukan kepada dokter Tita dengan baik-baik. Dokter pun meminta saya mengembalikan ke sana pagi itu untuk segera diganti dengan obat yang sama yang baru.

Kisah horor mainan baling-baling, semoga yang lain tidak mengalami hal ini. Cukup saya saja. Cuma pesen aja sama para orang tua: hendaknya tidak mempercayakan anak kita yang masih balita pada sembarang orang meski orang dekat sekalipun, awasi anak-anak kita selama main dan berikan mainan yang tidak berbahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun