Mohon tunggu...
M. Lutfi Mustofa
M. Lutfi Mustofa Mohon Tunggu... PNS -

Suka membaca, suka menulis, dan berharap ridho Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

No Lebaran Without Mudik

13 Juli 2015   08:34 Diperbarui: 13 Juli 2015   09:11 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tidak ada lebaran tanpa mudik” adalah adagium tahunan yang barangkali sangat tipikal Indonesia. Bahkan, frase tersebut boleh dibilang telah menjadi nilai tersendiri dalam tradisi masyarakat Muslim di negeri seribu pulau ini. Sekalipun pemerintah negara tetangga (Malaysia) mewajibkan para warganya yang beragama Islam untuk mudik lebaran, ternyata juga belum sefenomenal di sini. Ada faktor geografis, sosio-kultur, dan psiko-religius yang menjadikan tradisi mudik lebaran begitu mengagumkan di Indonesia.

Berdasarkan hasil riset yang dihimpun oleh Balitbang Kementerian Perhubungan, Menteri Perhubungan RI, diperkirakan jumlah penumpang pada musim mudik lebaran 2015 tidak kurang dari 20 juta penumpang. Jumlah pemudik yang menggunakan moda transportasi baik darat, laut, udara, kereta api, hingga kendaraan pribadi pun terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun ini, menurut Menteri Ignatius Jonan, peningkatan tersebut mencapai 1-2 persen dibandingkan musim mudik lebaran pada tahun sebelumnya. Moda transportasi udara diprediksi naik 2,5 persen, laut diprediksi meningkat 9,5 persen, dan kereta api naik 3,5 persen.

Dalam nyanyian masyarakat Minang-Sumatera Barat, mudik lebaran dinyatakan juga dengan istilah “baliak kampuang”, yang artinya kembali ke desa dari perantauan. Dari pengertian ini dan data mudik di atas tampak dengan jelas bahwa tidak kurang dari 10 persen masyarakat Muslim Indonesia yang melakukan urbanisasi. Fenomena ini tidak saja mengandung makna-makna ekonomi, lebih dari itu secara sosio-kultur juga menyampaikan isyarat adanya sirkulasi arus akulturasi kemasyarakatan, kebudayaan, dan keagamaan secara masif di berbagai kawasan desa-kota di Indonesia. Sampai pada titik ini, tradisi mudik lebaran sebenarnya menyiratkan fungsi determinatif yang kuat dalam proses konstruksi semesta sosial maupun semesta simbolik yang melibatkan lapisan masyarakat perkotaan dalam jumlah cukup besar. Lingkungan sosial, seperti stratifikasi, sosialisasi, serta gaya hidup; dan lingkungan simbolik yang meliputi makna-makna atau komunikasi, semisal kata-kata, bahasa, nyanyian, seni, upacara, tingkah laku, dan gagasan atau konsep. Secara sosial-simbolik, misalnya, kita bisa menyaksikan bagaimana pola sosialisasi sebagian masyarakat Muslim perkotaan beberapa saat setelah tiba di kampung halaman (Madura), mereka menggelar “open house” sebagai medium rasa syukur dan komunikasi dengan warganya yang disertai rangkaian aktivitas seni, upacara, praktek-praktek keagamaan, sambutan tentang narasi dan ilustrasi hidup dari perantauan, dan diakhiri dengan pembagian hadiah atau souvenir.

Dengan segala imajinasi dan motif psiko-religiusnya masing-masing, para pemudik bersedia menempuh beragam kesulitan maupun resiko di sepanjang perjalanan yang jauh, dengan kondisi panas, hujan, macet ataupun polusi. Kerendahan hati, semangat, dan ketulusan untuk menikmati perjalanan mudik lebaran menjadikan mereka benar-benar bertahan dari segala macam kesulitan yang ada. “No lebaran without mudik” benar-benar menjadi sebuah frase yang sarat dengan muatan psiko-sosio-kultural-religius yang mengesankan dari fenomena masyarakat Muslim Indonesia. Tidak sedikit cerita pengalaman yang kita dengarkan dari para pemudik, bahwa perjalanan antarpulau dengan menggunakan moda transportasi darat--baik angkutan umum maupun kendaraan pribadi--selama beberapa hari lebih mereka pilih ketimbang harus menggunakan pesawat udara. Bagi sebagian orang, mudik memang lebih mengesankan pada saat menghadapi sedikit tantangan di perjalanan agar manis pada saatnya. No pain no gain, tutur seorang kawan yang memilih untuk berkendaraan pribadi bersama istri dan anak-anaknya dari Jawa Timur ke Banda Aceh pada perjalanan mudiknya tahun 2014 silam.

Mengapa masyarakat Muslim Indonesia begitu menikmati mudik lebaran? Setidaknya disini ada dua alasan utama. Pertama, kerinduan akan perjumpaan dengan kerabat, handai tolan, teman, dan terutama kedua orang tua di tanah kelahiran mereka masing-masing. ‘Idul Fitri adalah hari penuh ampunan Tuhan yang direfleksikan oleh umat Islam yang berpuasa dengan kesediaan mereka untuk saling meminta dan memberikan maaf atas segala salah maupun khilaf terhadap sesamanya. Sebagaimana Ramadhan yang dipenuhi dengan rahmat Tuhan, ampunan, dan pembebasan-Nya terhadap manusia dari siksa neraka, maka umat Islam juga ingin melengkapi kebahagiaan mereka berjumpa handai tolan dengan berbagi kasih-sayang, maaf, dan bantuan terhadap sesamanya di kampung halaman. Dalam kesadaran teologis umat Islam pedesaan yang seakan telah mentradisi di Indonesia, bahwa mudik lebaran semacam menawarkan motivasi dan spirit untuk menyiapkan jalan kembali ke tempat asal agar dapat menyampaikan permohonan maaf pada kedua orang tua dan kerabat yang lebih tua. Bagi mereka yang sudah ditinggal wafat oleh salah satu dari atau kedua orang tuanya, maka pada mudik lebaran seperti ini juga dimanfaatkan untuk nyekar (kirim doa bagi almarhum). Kedua, adalah alasan yang lebih bersifat psiko-sosial, yaitu untuk berbagi kenikmatan atau keberhasilan setelah lama meninggalkan desanya. Bagi kebanyakan warga pedesaan yang telah lama merantau untuk mencari nafkah di ibu kota atau beberapa perkotaan besar yang lain tentu muncul semangat dan kebanggaan untuk berbagi cerita tentang keberhasilan. Kehadiran mereka di tengah keluarga atau warga desa yang memilih tetap tinggal di daerah asalnya bisa jadi menciptakan banyak arti yang positif, mulai dari kerinduan, pengakuan, inspirasi, motivasi, edukasi, dan juga harapan-harapan baru. Pembagian oleh-oleh dari kota dan rupiah kertas yang baru pada umumnya juga dinanti-nantikan oleh keluarga yang lebih muda dan anak-anak, sebagai sinyal awal adanya keberhasilan dan harapan baru tersebut.

Akan tetapi, tanpa bermaksud mengurangi arti penting dari fenomena mudik lebaran, harapan-harapan baru atau persepsi-diri tentang makna kesuksesan tersebut oleh atau kepada pemudik tidak jarang demikian tinggi, sehingga bagi sebagian orang menimbulkan efek yang cukup menekan. Berbagai kemungkinan, seperti kondisi hidup di Ibu Kota yang belum sepenuhnya menjanjikan maupun resiko-resiko pekerjaan yang di luar harapan, terkadang disikapi secara tidak realistis hanya untuk kebutuhan menjaga self-image yang sudah terlanjur di atau tercipta di tengah keluarga. Pada titik ini, ketika upaya menjaga gengsi-diri berada dalam takaran yang cukup tinggi untuk pulang kampung, maka jalan pintas yang biasa ditempuh adalah “menyelesaikan masalah tanpa masalah”, yaitu layanan pegadaian. Sejumlah aset atau barang-barang rumah tangga tidak sedikit yang harus masuk pegadaian agar dapat menyewa mobil selama satu atau dua minggu sekedar untuk memenuhi self-image di atas. Apa yang menarik bagi kita di sini adalah salah satu bagian penting dari praktek mudik lebaran yang sebaiknya menjadi perhatian adalah tindakan memamerkan keberhasilan. Dalam perspektif perekonomian pedesaan boleh jadi hal ini memiliki efek yang cukup positif, yakni peningkatan pendapatan pemerintah desa. Akan tetapi, secara domestik hal ini menghendaki adanya sikap yang lebih bijaksana dan realistis dari pemudik agar tujuan awal dan esensi mudik lebaran itu sendiri sebagai momentum silaturrahim tidak turut tergadaikan dan terkaburkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun