Mohon tunggu...
M. Lutfi Mustofa
M. Lutfi Mustofa Mohon Tunggu... PNS -

Suka membaca, suka menulis, dan berharap ridho Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Kemajemukan: Menakar Kesediaan Hidup Bersama Orang Lain dalam Perbedaan

15 Mei 2015   14:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah pertemuan yang tiba-tiba, seorang dosen Perguruan Tinggi Islam Negeri ternama di Kota Malang berbincang hangat dengan rekan kerjanya di sutau rumah makan. Awalnya, kedua pendidik ini berbincang seputar isu-isu “konyol” broadcasting para kolega mereka di salah satu media sosial yang lagi trendy, Watchsap. Mulai dari membahas beraneka gambar wanita cantik, gurauan tentang poligami, menanyakan perkembangan kesehatan salah seorang teman yang sedang rawat inap di Rumah Sakit Aisyiah, hingga tema-tema serius yang bertemali dengan soal perbedaan kelompok dan pentingnya sikap rukun atau harmoni di tengah kemajemukan (pluralitas). Lucunya, entah mereka berdua menyadari atau tidak sebenarnya sedang menjadi bagian dari perbedaan kelompok yang terbincangkan itu. Paling tidak, pada saat itu keduanya sedang vis a vis sebagai dua pribadi dengan latar belakang sosio-kultur yang berbeda, yaitu Bima dan Madura.

Sambil diiringi alunan musik klasik dengan vokalis cantik di rumah makan tersebut, yang kebetulan sedang mendendangkan lagu “Burung Camar” dari Fina Panduwinata, mereka semakin larut dalam diskusi yang mengasyikkan tentang “harmony in diversity”. Seperti telah jamak dimengerti oleh para akademisi, bahwa pluralitas merupakan kenyataan—yang dalam bahasa agamanya dikenal sebagai sunnatullah—yang tak bisa dihindari oleh siapapun. Dalam al-Qur’an, bahkan Allah SWT menjadikannya sebagai instrumen untuk saling mengenal di antara manusia dari berbagai suku dan bangsa. Tindakan saling mengenal ini kemudian dijadikan sebagai salah satu indikator ketakwaan seseorang, yang juga akan menentukan kemuliaannya di hadapan Rabbul ‘alamiin.

Pluralitas manakala disikapi dengan kedewasaan dan penghargaan, akan menawarkan kenyamanan dan kesejahteraan mental, baik secara personal maupun sosial. Sebaliknya, apabila dianggap sebagai ancaman justru akan menjadi faktor munculnya gangguan dan hambatan psikologis dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, organ Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) yang menangani penyelenggaraan pendidikan (UNESCO) menjadikan kemampuan seseorang untuk hidup bersama yang lain (how to live together) sebagai puncak capaian outcome pendidikan. Lebih dari itu, bahkan agama Islam menempatkan kompetensi tersebut sebagai puncak dari perilaku keberagamaan pemeluknya, setelah Iman dan Islam, yaitu Ihsan. Dalam pengertiannya yang sederhana, ihsan adalah berbuat baik terhadap semua makhluk (fi’l al-khairat li jami’ al-makhluqat). Pengertian ini, bahkan, bukan sekedar mengajarkan kepada manusia untuk menghormati sesamanya, tetapi juga pada lingkungan, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan keseluruhan entitas lain yang ada di semesta raya ini.

Kalau kita melihat jauh ke dalam ajaran Islam, maka akan tampak disana bahwa hampir semua ajaran tersebut memiliki dimensi kemanusiaan, baik secara personal maupun sosial. Ajaran mengenai Shalat, misalnya, dengan gamblang tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa ia ditunaikan agar seseorang terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Oleh karena itu, Allah SWT mengecam terhadap orang yang mendirikan shalat, tetapi ia melupakan pesan-pesan kemanusiaannya, seperti menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim. Begitu juga puasa, zakat, haji, dan bahkan ajaran mengenai iman senantiasa disandingkan dengan perintah untuk berkata-kata yang baik, mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri, menghormati tetangganya, mengutamakan titik temu di tengah perbedaan atau konflik, dan seterusnya.

Kaitannya dengan pesan untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan di antara sesama manusia dan unsur-unsur alam semesta yang lain di atas juga terungkap dalam sistem etika Jawa. Bahwa, semua ucapan, tindakan, dan peristiwa yang dibuat oleh seseorang di muka bumi ini akan senantiasa berhubungan dengan peristiwa di alam metafisis. Hubungan antara perbuatan manusia dengan alam metafisik tersebut seperti kaitan antara “luar” dan “dalam”. Artinya, apa yang terjadi di bagian “luar” memiliki korelasi dan dampak terhadap sebelah “dalam”. Dalam berbagai situasi, masyarakat Jawa mengajarkan agar manusia tidak bertindak gegabah yang bisa mengakibatkan mereka saling bertabrakan, termasuk dengan unsur-unsur alam yang lain, seperti roh dan kekuatan-kekuatan halus. Oleh karena itu, manusia perlu belajar dari pengalaman-pengalaman hidup dirinya maupun masyarakatnya untuk mengetahui tindakan-tindakan mana yang membawa “keselamatan” dan yang justru dapat membahayakan dirinya dan orang lain. Secara sosiologis, pengalaman-pengalaman itu biasanya terkemas dengan baik di dalam beragam tradisi dan norma-norma kearifan lokal masyarakat desa (adat-istiadat). Apabila manusia berpegang pada adat-istiadatnya maka akan mendapatkan rasa aman, dan begitu pula sebaliknya mereka yang menentangnya. Hal ini selaras dengan kaidah ushul fiqh yang menegaskan, bahwa al-‘adah muhakkamah, artinya adat-istiadat itu bisa dijadikan salah satu dasar hukum yang handal.

Dalam pengertiannya yang spesifik, agama yang dalam Bahasa Arab disebut dengan al-din juga bisa bermakna tradisi atau adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, antara Islam dan adat-istiadat masyarakat sebenarnya memiliki kesatuan dan keselarasan makna maupun pesan moralnya. Atas dasar itu, jika Islam mengajarkan tentang pentingnya mempromosikan hormony in plurality atau unity in diversity, seperti telah disinggung di atas, maka tindakan mengabaikannya adalah sama halnya dengan menentang pengalaman hidup dan kearifan lokal masyarakatnya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka dalam perspektif Islam maupun etika Jawa di atas maknanya adalah ketidakselamatan, na’udzu billahi min dzalik, semoga kita semua terhindar dari mafsadat ini…amiiiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun