Mohon tunggu...
Sakti
Sakti Mohon Tunggu... Insinyur - Urbanis, Humanis, Moderat

Urbanis, Humanis, Moderat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stop Berkendara di Bawah Umur: Apanya yang "di Bawah"?

31 Oktober 2024   15:24 Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:50 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa yang tertata dan tepat sasaran adalah cermin dari budaya dan pemahaman yang baik. Setiap kata yang dipilih seolah menjadi jendela yang merefleksikan cara kita berkomunikasi dan menghargai makna. Kalimat-kalimat di ruang publik, seperti spanduk peringatan dan papan larangan, seharusnya ditulis dengan kejelasan yang baik dan menghindari ambiguitas, karena informasi yang disampaikan di sana bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mudah dan langsung. Namun, sayangnya, sering kali kita menemukan kalimat-kalimat tersebut disajikan dengan gaya yang tidak hanya keliru secara gramatikal, tetapi juga berpotensi menimbulkan kebingungan makna.

Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah frasa yang cukup sering kita lihat di berbagai tempat---di jalan raya, dekat sekolah, atau pada spanduk peringatan umum---yaitu "Stop berkendara di bawah umur." Pada pandangan pertama, kita mungkin terbiasa dengan kalimat ini dan cenderung mengabaikan detailnya. Namun, jika kita merenung lebih jauh, ada sesuatu yang terasa mengganjal. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan "di bawah umur"? Apanya yang berada "di bawah"?

Penggunaan frasa ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam tentang bagaimana bahasa digunakan dalam konteks umum. Istilah "di bawah umur" sebenarnya sudah lama diadopsi dalam Bahasa Indonesia, dan secara umum diterima sebagai istilah yang menggambarkan usia seseorang yang belum mencapai batas legal untuk melakukan hal-hal tertentu---misalnya, berkendara, menikah, atau bahkan mengonsumsi minuman beralkohol. Namun, penggunaan istilah "di bawah" dalam kaitan dengan usia justru bisa menimbulkan kerancuan. Apakah frasa ini sebenarnya tepat? Atau justru menimbulkan lebih banyak kebingungan?

Pertanyaan ini menjadi penting karena, dalam penyampaian informasi publik, setiap kata berperan untuk menciptakan pemahaman yang jelas dan langsung. Bahasa yang tidak lugas justru menghilangkan tujuan utama dari kalimat larangan atau peringatan itu sendiri. Dengan kata lain, bila ada ketidakjelasan dalam peringatan tersebut, fungsi larangannya menjadi lemah dan pesan yang dimaksudkan mungkin gagal tersampaikan secara efektif. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memikirkan kembali istilah-istilah seperti "di bawah umur" dan mempertimbangkan apakah ada alternatif yang lebih tepat dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Asal-Usul "Di Bawah Umur" dan Maknanya yang Kabur

Frasa "di bawah umur" kemungkinan besar merupakan terjemahan dari kata "underage" dalam bahasa Inggris, yang memang sudah umum digunakan dalam konteks hukum. Di Indonesia, "di bawah umur" digunakan untuk merujuk pada seseorang yang belum memenuhi usia minimal untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, seperti berkendara, menikah, atau mengonsumsi minuman beralkohol. Namun, bila kita memikirkannya lebih jauh, apakah konsep usia ini benar-benar perlu digambarkan dengan istilah "di bawah" atau "di atas"? Apakah ungkapan ini cukup jelas untuk menggambarkan batasan usia seseorang?

Penggunaan kata "di bawah" dalam konteks usia sebenarnya terasa tidak sepenuhnya logis, bahkan mungkin membingungkan. Apakah kita memiliki suatu hierarki usia yang nyata? Atau apakah ada skala fisik yang secara jelas menempatkan usia seseorang "di bawah" atau "di atas"? Tentu tidak. Usia bukanlah suatu hal yang bisa diposisikan secara fisik---usia adalah konsep abstrak yang lebih tepat digambarkan sebagai rentang angka atau level perkembangan, bukan dengan "tingkatan" seperti yang kita terapkan pada objek konkret.

Mengapa Kata "Di Bawah Umur" Bisa Menyesatkan?

Ada beberapa alasan mengapa frasa "di bawah umur" bisa menimbulkan pemahaman yang kabur, antara lain:

  1. Ambiguitas Makna: "Di bawah umur" tidak menyebutkan secara jelas usia yang dimaksud. Bagi yang belum familiar, ini menimbulkan pertanyaan: di bawah umur berapa? Tanpa keterangan angka spesifik, frasa ini menjadi terlalu luas dan kurang informatif.

  2. Kesan Hierarkis: Kata "di bawah" seolah-olah menggambarkan usia secara vertikal, seakan ada hierarki antara usia satu dengan yang lainnya. Ini tidak sesuai dengan pembagian usia yang lebih sering diukur dengan rentang tahun.

  3. Keterbatasan Makna "Di Bawah": Di konteks bahasa Indonesia, "di bawah" lebih tepat digunakan untuk menyatakan posisi tempat atau benda secara harfiah, misalnya "di bawah meja" atau "di bawah pohon." Penggunaan "di bawah" dalam konteks usia menjadi terasa aneh karena usia bukanlah suatu posisi yang bisa digambarkan "di bawah" atau "di atas."

Alternatif Istilah yang Lebih Jelas

Lalu, bagaimana seharusnya kalimat larangan ini ditulis agar lebih jelas dan tidak menimbulkan kebingungan? Berikut adalah beberapa alternatif kalimat yang dapat dipertimbangkan:

  1. "Dilarang berkendara bagi yang belum cukup umur." Kalimat ini langsung menyatakan bahwa seseorang dilarang berkendara jika usianya belum cukup atau memenuhi syarat.

  2. "Dilarang berkendara bagi yang belum memenuhi usia minimal." Dengan mencantumkan frasa "usia minimal," kalimat ini menjadi lebih formal dan spesifik.

  3. "Dilarang berkendara bagi yang berusia di bawah 17 tahun." Ini adalah pilihan terbaik jika aturan yang berlaku menetapkan usia minimal secara spesifik. Kalimat ini secara langsung mencantumkan batas usia, sehingga tidak ada ruang untuk interpretasi lain.

  4. "Usia minimal untuk berkendara adalah 17 tahun." Kalimat informatif ini mungkin lebih sesuai dalam konteks peringatan yang bertujuan mengedukasi. Dengan cara ini, kita tidak hanya melarang, tetapi juga memberi pemahaman yang lebih baik.

Mengapa Kalimat Larangan yang Jelas itu Penting?

Kita mungkin sering menganggap perbaikan pada kalimat larangan sebagai sesuatu yang sepele atau bahkan tidak perlu. Namun, pada kenyataannya, penggunaan kalimat yang jelas dan tepat sangat penting, terutama dalam konteks aturan atau regulasi. Kalimat larangan yang tidak tersusun dengan baik atau menimbulkan ambigu bisa mengurangi efektivitas pesan yang hendak disampaikan. Alih-alih mengarahkan masyarakat agar mematuhi aturan, kalimat yang ambigu justru berpotensi menimbulkan salah paham, sehingga aturan itu sendiri menjadi sulit diterapkan.

Kejelasan dalam kalimat peringatan atau larangan adalah hal mendasar karena berfungsi untuk mencegah kebingungan dan memastikan setiap orang, tanpa memandang latar belakang pendidikan atau budaya, dapat memahami dengan tepat maksud dari larangan tersebut. Dalam konteks peraturan lalu lintas, misalnya, frasa seperti "Dilarang berkendara di bawah umur" dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh masyarakat jika tidak diberikan batasan usia yang jelas. Setiap kata dalam kalimat tersebut memiliki dampak langsung pada bagaimana aturan diartikan, dipahami, dan akhirnya ditaati. Oleh karena itu, kejelasan adalah kunci utama agar pesan larangan dapat tersampaikan dengan efektif.

Selain itu, penggunaan bahasa yang tepat di ruang publik bukan hanya sekadar soal berkomunikasi dengan baik. Ini juga mencerminkan bagaimana suatu institusi atau pemerintah memandang dan menghargai kecerdasan masyarakatnya. Dengan memperbaiki kalimat-kalimat seperti "Stop berkendara di bawah umur" dan menggantinya dengan kalimat yang lebih jelas seperti "Dilarang berkendara bagi yang belum berusia 17 tahun," kita tidak hanya menghindari kebingungan, tetapi juga membangun budaya literasi yang lebih baik. Kalimat yang lugas dan informatif turut berkontribusi pada kesadaran berbahasa di masyarakat dan menciptakan ruang publik yang lebih tertib dan teratur.

Penutup: Saatnya Menyempurnakan Pesan di Ruang Publik

Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat berharga, terutama di ruang publik, di mana pesan-pesan singkat dan padat sering kali menjadi jembatan antara institusi dan masyarakat. Setiap kalimat peringatan atau larangan yang kita lihat di jalan raya, di gedung-gedung publik, atau di fasilitas umum lainnya sebenarnya merupakan bagian dari edukasi. Pesan-pesan ini membentuk pola pikir dan pemahaman masyarakat tentang aturan serta batasan yang perlu dihormati.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai memperhatikan bagaimana kita menyusun kalimat-kalimat di ruang publik ini. Kalimat seperti "Stop berkendara di bawah umur" mungkin tampak sederhana dan mudah dipahami sekilas. Namun, dengan sedikit perbaikan, kita bisa menciptakan pesan yang lebih efektif dan meminimalkan ruang untuk salah tafsir. Perubahan ini tidak hanya akan memperkuat kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga membentuk ruang publik yang lebih menghargai kejelasan dan kecermatan berbahasa, serta meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya literasi dalam komunikasi sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun