Ngomong kasar mungkin terlihat sepele bagi sebagian remaja, tetapi dampaknya bisa sangat signifikan. Dari sisi psikologis, remaja yang terbiasa menggunakan bahasa kasar cenderung menunjukkan tingkat empati yang lebih rendah. Mereka menjadi lebih mudah marah, defensif, atau bahkan agresif ketika berhadapan dengan konflik. Bahasa kasar juga bisa mencerminkan kurangnya kemampuan untuk mengelola emosi dan menghadapi situasi yang menantang dengan cara yang lebih konstruktif.
Dampak sosial dari kebiasaan ini juga tidak bisa diabaikan. Penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi sehari-hari dapat merusak hubungan interpersonal. Orang-orang di sekitar remaja, baik teman, keluarga, maupun guru, mungkin merasa tidak nyaman atau tersinggung dengan kata-kata yang mereka gunakan.Â
Remaja yang sering berbicara kasar bisa dijauhi oleh teman-teman yang lebih menghargai komunikasi yang santun, atau bahkan bisa kehilangan kesempatan di lingkungan sekolah dan pekerjaan di masa depan akibat citra negatif yang mereka bangun.
Lebih jauh lagi, bahasa kasar yang sering digunakan dalam perdebatan online, terutama di media sosial, bisa memperparah polarisasi dan konflik antarindividu atau kelompok. Remaja yang terbiasa menggunakan bahasa kasar mungkin juga cenderung lebih intoleran terhadap pendapat atau perbedaan pandangan, sehingga memperkeruh suasana diskusi yang seharusnya bisa berjalan secara damai dan saling menghargai.
Lingkungan pendidikan dan keluarga memiliki peran penting dalam menangani fenomena ini. Sekolah, sebagai tempat utama bagi remaja mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial, perlu lebih aktif dalam mengedukasi siswa mengenai pentingnya etika berbahasa.Â
Program-program literasi digital yang menekankan etika berkomunikasi di media sosial dan cara mengelola emosi dengan baik bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja.
Di rumah, peran orang tua sangat krusial. Orang tua perlu menjadi contoh dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, dialog terbuka dengan anak-anak tentang dampak negatif dari bahasa kasar dan bagaimana hal itu bisa mempengaruhi kehidupan mereka di masa depan sangat penting. Anak-anak perlu diajarkan untuk memahami bahwa penggunaan bahasa adalah cerminan dari karakter dan nilai-nilai yang mereka pegang.
Sayangnya, tidak semua orang tua atau guru menyadari atau memiliki kapasitas untuk menangani masalah ini. Beberapa dari mereka mungkin tidak menyadari seberapa sering remaja menggunakan bahasa kasar di luar rumah atau di media sosial. Oleh karena itu, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan komunitas lebih luas sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ini secara bersama-sama.
Penggunaan bahasa kasar di kalangan remaja adalah fenomena yang semakin marak, didorong oleh pengaruh teman sebaya, media sosial, dan budaya pop. Meskipun remaja mungkin menganggapnya sebagai cara untuk mengekspresikan diri atau menunjukkan kebebasan, dampak negatif dari kebiasaan ini jauh lebih besar daripada yang mereka sadari.Â
Bahasa kasar tidak hanya mempengaruhi hubungan sosial dan perkembangan karakter remaja, tetapi juga mencerminkan adanya penurunan dalam etika berkomunikasi yang seharusnya dijaga.
Untuk mengatasi fenomena ini, dibutuhkan upaya dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Pendidikan tentang etika berbahasa, pengelolaan emosi, dan literasi digital harus ditingkatkan. Dengan demikian, kita dapat membantu remaja memahami bahwa komunikasi yang baik dan santun adalah bagian penting dari kehidupan sosial yang sehat dan bermartabat.Â