Mohon tunggu...
M Lendri Julian
M Lendri Julian Mohon Tunggu... Penulis - Sedang ber-fiksi. Hubungi aku via do'a

Seorang lelaki dari Purwakarta. Datang untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menteri

22 Oktober 2019   21:10 Diperbarui: 22 Oktober 2019   21:21 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Melihat berita tentang penyeleksian menteri di televisi, Muni jadi bertanya-tanya. Dia pun menghampiri bapaknya, Malik, yang sedang asik menghisap rokok di teras rumah.

"Hahaha. Negara kok jadi kayak pabrik, ya pak?"

"Kenapa bisa gitu, nak?"

"Iya iyalah pak. Pak Presiden kayak HRD yang sedang mencari karyawan untuk bekerja di perusahaannya. Pak Presiden memanggil orang-orang untuk berkunjung ke istana. Orang-orang itu memakai kemeja putih lagi. Bukankah itu kayak pabrik, pak?"

"Owalah nak, itu kan cara Pak Presiden. Biarkan dia menggunakan caranya sendiri. Lagipula, bukankah putih itu suci, nak?"

"Iya pak. Putih itu selalu diidentikan dengan kesucian. Tapi, bukankah putih juga sering diidentikan dengan menyerah, kematian, dan juga kepolosan?"

"Itu sih, nak, bagaimana sudut pandang kita saja. Toh, bendera negara kita juga memakai warna putih? Sudahlah nak, biarkan."

"Iya pak. Tapi, tetap saja, jika seperti itu, negara kita kayak pabrik. Biasanya, untuk bisa masuk ke salah satu pabrik, kita dikenalkan dengan istilah 'orang dalam'. Jika kita punya 'orang dalam', dengan mudahnya kita bisa bekerja di pabrik tersebut. Orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih, jadi tersingkirkan oleh 'orang dalam'."

"Owalah nak. Kau kan lihat sendiri di televisi. Pak Presiden memanggil orang-orang hebat. Orang-orang yang sudah diketahui mempunyai kemampuan yang tinggi."

"Iya pak. Aku lihat itu. Tapi, mungkin, orang-orang hebat itu baru sebagiannya saja. Sebagian besarnya lagi, mungkin orang-orang yang dekat dengan Pak Presiden. Itu kan seperti cara 'orang dalam', pak."

"Yah, semoga yang 'sebagian besar' itu tidak seperti yang kau pikirkan, nak."

Muni terdiam. Malik masih terus menikmati hisapan rokoknya pada hari sudah yang malam. Teras rumah seperti sedang menunjukan pertunjukan yang sepi. Udara malam yang ditemani dengan nyamuk yang menghisap darah, kian mengudara menghiasi musim yang kemarau.

Purwakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun