Tiap tahun, hampir satu juta orang meninggal karena menghirup partikel-partikel yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Selain itu, suhu iklim pada abad ini meningkat 2 derajat Celcius, disamping masih ada lebih dari satu miliar orang yang belum menikmati listrik. Persoalan global yang mesti dicari jalan keluarnya adalah meningkatnya kematian akibat polusi udara, perubahan iklim, dan peningkatan jumlah penduduk negara-negara yang masih terjebak dalam kemiskinan energi.
Meningkatnya jumlah kaum kelas menengah di seluruh dunia berarti juga akan menambah kebutuhan energinya. Anggap saja ekonomi dunia cukup makmur sehingga bisa memberikan setiap orang di seluruh dunia ini setengah saja dari jumlah listrik yang dikonsumsi oleh orang Amerika, maka akan memerlukan pembangkitan listrik sebesar 3 kali lipat dari seluruh yang sudah ada di dunia saat ini.
Kebanyakan listrik yang ada di dunia saat ini dihasilkan dengan pembangkit yang berbahan bakar batubara. Bahkan dari jumlah total di seluruh dunia mengalami kenaikan sebesar 8 persen pada tahun 2011. Jerman adalah yang paling besar kenaikannya. Tenaga angin dan tenaga matahari masih belum bisa sekontinyu jika menggunakan tenaga batubara dalam menyuplai listriknya. Selain itu juga belum bisa semurah tenaga batubara.
Tenaga nuklir adalah jalan keluarnya saat ini karena aman dan harganya terjangkau, dengan dampak lingkungan yang kecil. Namun penentangnya masih berlandaskan pada mitos, yaitu yang didefinisikan oleh Merriam-Webster sebagai sebuah “kepercayaan atau tindakan yang berasal dari ketidaktahuan, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui, keyakinan terhadap sihir atau kebetulan, maupun pengartian yang salah (miskonsepsi) terhadap suatu hubungan sebab akibat, sedemikian hingga menjadi sebuah gagasan yang dipertahankan dengan mengabaikan bukti yang menunjukkan sebaliknya”. Mari kita telaah buktinya.
Sebagian orang mengira bahwa kecelakaan-kecelakaan nuklir akan menyebarkan bahan radioaktif yang mematikan. Memang dosis radiasi yang sangat kuat menewaskan 38 orang petugas yang bekerja pada saat kondisi darurat pasca ledakan terjadi di reaktor Chernobyl. Selain itu jatuhan material radioaktif (fallout) Iodium berumur paruh pendeknya menyebabkan kanker tiroid ditemukan sebanyak 4,000 kasus dan menyebabkan kematian pada 15 orang yang menderitanya. Meski demikian, tidak ditemukan bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan perihal ribuan kematian yang diprediksi akibat dari radiasi dosis rendah.
Kalangan penentang energi nuklir kerap kali menyebut bahwa kematian akibat kecelakaan Chernobyl hingga mencapai satu juga orang tanpa bukti otentik yang bisa diobservasi ulang.
Dengan hanya memakai ekstrapolasi matematis sederhana untuk menghitung efek pada kecelakaan radiasi dosis tinggi, para penentang energi nuklir mengklaim bahwa tidak ada jumlah radiasi yang aman bahkan untuk radiasi yang rendah dari alam sekalipun, misalnya dari langit dan dari Potasium alam, Uranium alam, dan Thorium alam yang terbentuk di bumi milyaran tahun yang lalu. Potasium (K) banyak terdapat di dalam makanan dan bahkan tubuh kita. Bebatuan banyak mengandung Thorium dan Uranium yang kemudian meluruh jadi Radon atau menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
Pemberitaan tentang kecelakaan Fukushima menimbulkan histeria yang tak berdasar. Sebuah komite ilmiah yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki efek kecelakaan Fukushima terhadap kesehatan, melaporkan bahwa tidak ada dampak radiasi pada kesehatan yang teramati diantara masyarakat umum dan pekerja rekonstruksi pasca tsunami dan dekontaminasi pasca kecelakaan nuklir. Hal ini bertentangan dengan ekstrapolasi di atas yang memperkirakan efek radiasi tingkat rendah pada kesehatan.
Akibat mitos di sekitar radiasi, banyak kerugian ditimbulkan. Jepang membelanjakan dengan sia-sia milyaran dolar untuk mencegah penempatan kembali daerah-daerah yang telah aman secara radiologi. Ratusan orang tewas akibat stres saat evakuasi. Impor gas alam cair untuk menggantikan tenaga nuklir yang tidak beroperasi mengakibatkan neraca perdagangan Jepang menjadi negatif.
Masyarakat menjadi takut akibat radiasi tingkat rendah dari bahan radioaktif yang tersebar karena kecelakaan nuklir, limbah nuklir yang jauh berada di bawah tanah, maupun tindakan medis. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA) mensyaratkan para insinyur di fasilitas penyimpanan lestari limbah nuklir, Yucca Mountain, untuk membatasi terlepasnya radiasi ke lingkungan jika terjadi kecelakaan adalah sebesar 1/20 dari besarnya radiasi, selama kurun waktu 10,000 tahun. Sebagai gambaran pembanding, operator sinar X (X-ray) untuk analisis struktur gigi, kerap menutupkan selimut yang terbuat dari Timbal (Pb) pada pasiennya untuk melindungi dari paparan sinar X di bagian selain yang diperlukan. Meski begitu, dari dosis sinar X untuk diagnosis gigi tersebut, masih diperlukan 10,000 kali lagi dosisnya untuk terlihat efeknya pada kesehatan.
Menerima paparan radiasi alami di alam masih tetap aman bagi tubuh meski dalam waktu yang lama. Tiap sel tubuh akan dengan cepat memperbaiki rantai DNA yang terputus karena radiasi tersebut, satu untaian tiap detik untuk tiap sel. Evolusi kehidupan di dunia pada awal-awal terbentuknya terjadi saat radiasi alami di lingkungan tiga kali lebih besar daripada saat ini. Sekarang, orang yang hidup di tempat-tempat dengan tingkat radiasi alaminya mencapai 5 kali lipat nilai normalnya ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda kanker dalam tubuhnya.
Laju dosis radiasi punya arti yang sama penting dengan dosis radiasinya. Laju dosis radiasi berarti banyaknya dosis radiasi yang diterima dalam satuan waktu tertentu. Laju dosis yang tinggi akan membingungkan sistem kekebalan sel-sel tubuh. Misalnya dosis yang mematikan para pekerja tanggap darurat di Chernobyl sebenarnya tidak akan berdampak pada tubuh jika dosis radiasi sebesar itu tidak diterima tubuh seketika, tetapi tersebar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama. Logika yang sama terjadi pada terapi kanker menggunakan radiasi. Sel-sel kanker dirusak dengan radiasi dalam dosis tertentu tetapi dalam waktu yang berselang, tidak secara kontinyu. Hal ini supaya jaringan-jaringan yang tidak terlalu kena radiasi alias jaringan non-kanker tetapi berdekatan dengan jaringan kanker, punya cukup waktu untuk memperbaiki dirinya setelah ikut “sedikit rusak” karena ikut teradiasi tadi.
Peneliti radiasi nuklir dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 2012 lalu menyampaikan fakta terbaru bahwa tidak ditemukan kerusakan pada DNA yang telah dipaparkan pada radiasi sebesar 30 kali laju radiasi di alam. Para peneliti di Laboratorium Lawrence Berkeley juga mengamati bagaimana radiasi dosis rendah malah justru memicu perbaikan-perbaikan di dalam sel-sel manusia. Paparan radiasi dosis rendah dalam jangka waktu yang lama ternyata tidak berbahaya pada sel-sel manusia.
Para pekerja di industri nuklir dan galangan kapal yang terpapar radiasi dosis rendah ternyata ditemukan lebih sedikit terkena kanker. Sebuah bangunan yang kebanyakan terbuat dari konstruksi besi baja di Taiwan, secara tidak sengaja terkontaminasi bahan radioaktif dan membuat sekitar 8,000 penduduk Taiwan terpapar radiasi 7 kali lebih tinggi dari radiasi alam selama lebih dari 30 tahun. Ternyata setelah diteliti dari para penduduk tersebut ditemukan laju terjadinya kanker berkurang drastis. Tahun 2012 lalu, jurnal ilmiah The Dose Response Journal dan The American Nuclear Society mempublikasikan sebuah rangkuman hasil-hasil riset selama ini (compendia articles) yang menunjukkan bukti-bukti betapa radiasi dosis rendah itu tidak berbahaya, bahkan malah menyehatkan.
Aturan dalam menghadapi radiasi yang berbunyi “serendah mungkin yang dapat dicapai (as low as reasonably achievable)” saat ini membuat energi nuklir jadi tidak cukup terjangkau secara finansial. Mungkin perlu merevisi aturannya menjadi batasan yang “setinggi mungkin yang masih aman (as high as reasonably safe)”. Batasannya pun perlu ditentukan berdasarkan bukti-bukti ilmiah, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ini untuk risiko-risiko lingkungan lainnya.
Tenaga nuklir bagaimana pun merupakan salah satu jalan keluar terbaik dari krisis energi, iklim, dan kemiskinan di dunia saat ini. Mestikah kita abaikan masa depan planet ini hanya karena berpegang teguh pada sebuah mitos?
Diterjemahkan dari tulisan Robert Hargraves PhD (@HargravesRobert), seorang ahli fisika dan matematikadi Dartmouth College, Amerika Serikat. Bukunya yang terkenal berjudul “Thorium: energy cheaper than coal”
Versi asli tulisan R. Hargraves dapat dilihat di http://atomicinsights.com/2013/03/radiation-superstition.html
Diterjemahkan oleh M. K. Biddinika (@katakatakunta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H