Misalnya, istilah bait dengan ayat, dan qashidah dengan surat. Satu hal yang sebenarnya tidak boleh dilupakan adalah satu-satunya ontologi (pengetahuan) yang dimilki oleh bangsa Arab adalah puisi.Â
Puisi akan sangat bermakna secara aksiologis jika diarahkan pada dimensi transendental. Terlebih-lebih jika diarahkan pada dua entitas pokok, yaitu humanisme-transendental.
Kekerasan, sparatis-ekslusif dan 'sikap kurang baik' lainnya sebenarnya bisa dinetralkan dengan upaya penghayatan agama secara serius dan berkelanjutan.Â
Upaya tersebut bisa dilakukan dengan cara sederhana namun penuh makna, yaitu membuat, menggubah atau mengarang puisi. Tentunya sebagai jalan menuju penguatan kapasitas religiusitas per-individu---yang implikasinya pada kesalehan sosial. seperti apa yang dijelaskan Gus Dur, seorang penyair cilik bisa lebih dekat pada Tuhan karena mereka suka bercengkrama dengan-Nya.
"Tuhan saja akrab dengan mereka, kenapa kita tidak?" Atau, "Kenapa perlu 'bersikap kasar' jika 'berlemah lembut' bisa?"
Referensi:
Abdul Wachid B.S., 2005. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Saka
Abdurrahman Wahid, 2016. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Jakarta: Saufa
Nasr Hamid Abud Zaid, 2016. Tekstualitas Al-Qur'an terj. Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur'an. Yogyakarta: IRCiSoD
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H