Mohon tunggu...
HADI
HADI Mohon Tunggu... Foto/Videografer - +62

+62

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Gerindra Beda PDIP

27 Juni 2018   20:39 Diperbarui: 27 Juni 2018   20:55 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2019 mendatang Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi terbesar yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menjelang tahun politik, semakin banyak usaha yang dilakukan oleh pihak- pihak terkait terutama para elite politik dalam menggencarkan usahanya untuk memenangkan event politik akbar Indonesia. 

Salah satu yang sedang ramai diperbincangkan saat ini yaitu adanya tudingan mantan presiden Indonesia SBY terhadap beberapa anggota institusi negara yang tidak bersikap netral dalam kegiatan demokrasi akbar. Respon yang kontras juga disampaikan oleh dua kubu yang berkompetisi yakni PDIP dan Gerindra terhadap ungkapan mantan presiden Indonesia SBY yang menuding ada oknum dari BIN, TNI, dan POLRI yang tidak netral menuju tahun politik.

Menanggapi tudingan SBY, gerindra melalui Wakil Sekjen nya Andre Rosiade menilai SBY pasti memiliki sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, terlebih SBY sudah pernah menjadi presiden Indonesia selama 10 tahun yang artinya juga sudah pernah mengangkat para petinggi atau pejabat dari institusi- institusi yang disebutnya. Sehingga bukan tidak mungkin masih ada anggota dari beberapa institusi yang melapor kepada SBY tentang adanya ketidaknetralan anggota dalam kegiatan Pilkada.

PDIP melalui Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) Komaruddin Watubun menyebutkan tudingan SBY terkait ketidaknetralan oknum BIN - TNI - POLRI merupakan suatu yang berlebihan. Komarudin justru menyerang balik SBY dengan mengatakan bahwa SBY sedang melakukan peran sebagai Playing Victim  seolah- olah dirinya adalah sebagai korban dan berharap banyak pihak yang bersimpati. 

Komaruddin justru menyerang balik SBY dengan mempertanyakan kasus Antasari (Mantan Ketua KPK) yang terjerat kasus saat dalam pendalaman dugaan penyelewengan dana dalam pengadaan alat teknologi informasi di KPU menjelang pemilu legislatif 2009 dan justru  memberikan iming-iming jabatan pengurus teras partai Demokrat kepada komisioner KPU, Anas Urbaningrum, dan Andi Nurpati.

Terlepas dari tanggapan Gerindra dan PDIP, penulis memiliki opini sendiri terkait tudingan yang dilontarkan oleh SBY. Pertama, tidak bisa dipungkiri apabila ada oknum dari sebuah institusi yang mendukung salah satu pihak dalam kegiatan demokrasi, namun disini seorang pegawai dituntut kenetralanya, karena hal tersebut merupakan salah satu kode etik dari setiap pegawai (ASN) terutama.

Permasalahan muncul apabila oknum yang tidak netral memiliki jabatan dan memiliki banyak anggota, dampaknya oknum tersebut secara tidak langsung memaksakan kecenderunganya kepada bawahanya, bahkan lebih jauh oknum tersebut dapat memanfaatkan jabatanya untuk mensukseskan salah satu pasang calon yang didukungnya. 

Kasus selanjutnya adalah apabila ada oknum yang berusaha netral namun lingkunganya tidak bisa menerima sikap oknum tersebut. Oknum tersebut memiliki atasan yang berpihak pada salah satu calon. Disini dilema akan muncul, oknum tersebut memiliki hati nurani untuk bersikap netral, namun apabila ia tidak mau menuruti instruksi dari atasanya, maka karirnya akan terancam. Maka sikap oknum yang awalnya netral akan dihadapkan dengan realita yang sangat menggoyahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun