“ Bengawang soro, liwayatmu duru.... “. Maaf ini bukan plesetan. Tetapi itulah yang saya dengar, ketika seorang Ibu Tua asli Jepang menyanyikan lagu Bengawan Solo. Saya mendengarnya langsung, ketika berkunjung ke Distrik Nara, sekitar satu jam perjalanan kereta api dari Osaka. Ketika itu, kami sedang menjalani program homestay, yang diselenggarakan panitia Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Osaka Jepang pertengahan tahun 90an. Sambil menunggu saat pulang setelah meliput KTT APEC pada tahun 1995 itu, saya dan Bung Ahmad Muslich mendaftar program homestay, dan kebetulan mendapatkan tuan rumah seorang penduduk di kota Nara. Nara adalah sebuah distrik di sebelah utara Osaka, berjarak tempuh sekitar satu jam naik kereta api dari Osaka. Dan di situlah, sambil mengucapkan selamat datang kepada kami, tuan rumah selain menjamu kami dengan tradisi minum teh juga menyanyikan lagu Bengawan Solo, ciptaan Maestro Kroncong Gesang. Kenangan Bengawan Soro’ di Nara itu muncul sehubungan kabar sakitnya Sang Pencipta lagu itu. Kini, si pencipta lagu Bengawan Solo sedang terbaring di rumah sakit PKU Muhamadiyah Surakarta, setelah menjalani operasi prostat Senin dinihari. Laporan teman dari Surakarta menyebutkan, Sang Maestro yang sudah berusia 92 tahun itu, Senin sore ini sudah mulai bisa tertawa. Ketika beberapa anak SD menjenguknya ia yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1917 pun ikut bernyanyi Bengawan Solo bersama mereka. Bengawan Solo, sepertinya sudah menjadi salah satu ciri khas Indonesia, setidaknya di Jepang. Pada tahun 1980, Gesang telah datang ke Sapporo Jepang memenuhi Undangan perhimpunan persahabatan Sapporo Indonesia. Pada saat itulah untuk pertama kali berlangsung pergelaran musik kroncong di Jepang dengan penampilan khusus Gesang dengan Bengawan Solonya. Selain Bengawan Solo, Gesang juga menciptakan beberapa lagu kroncong lainnya yaitu jembatan merah,saputangan,,si piatu,roda dunia,dunia berdamai,tirtonadi,pemuda dewasa,luntur,bumi emas tanah airku,dongengan,sebelum aku mati Gesang, yang bernama lengkap Gesang Martohartono, masuk rumah sakit PKU Muhamadiyah Senin malam karena merasa kondisi badannya sangat lemah. Senin dinihari, dokter selesai melakukan operasi prostat yang merupakan keduakali sejak yang pertama tahun 1995. Pria berusia 92 tahun itu sudah terlihat renta. Namun lukisannya tentang Bengawan Solo masih terdengar lembut dan menyejukkan jiwa yang mendengarnya. Kali Bengawan Solo kini, nampaknya juga sudah tidak seindah lukisan dalam lagunya. Pun boleh jadi sudah semakin jarang orang, khususnya generasi muda dan remaja yang kenal akan lagu yang melegenda sampai ke daratan Cina. Selain RRI dan TVRI, lagu keroncong dan langgam, bukanlah lagi sajian musik yang dianggap pantas untuk disiarkan. Demikian juga dengan Bengawan Solo. Campur Sari yang sering menjadi Campur Saru, lebih diminati berkat lirik dan musiknya yang lebih menarik dan bergelora. Saya tidak tahu, sepeninggal Maestro Kroncong saat dipanggil Yang Maha Kuasa, apakah Bengawan Solo masih akan terus abadi dan diminati atau hanya tinggal menjadi catatan dan kenangan. Sambil mengenang dan mendoakan kesembuhan dan umur panjang yang barokah bagi Sang Maestro Kroncong, bagi teman yang ingat lagu Bengawan Solo, mari bersama sama kita senandungkan lagu yang liriknya adalah sebagai berikut : bengawan solo, riwayatmu ini sedari dulu jadi perhatian insani musim kemarau, tak seberapa airmu di musim hujan air meluap sampai jauh ... mata airmu dari solo terkurung gunung seribu air mengalir sampai jauh akhirnya ke laut ... itu perahu, riwayatmu dulu kaum pedagang s'lalu naik itu perahu. Salam M.KABUL BUDIONO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H