Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bebasnya Prita dan Bibit-Chandra dalam Perspektif ‘Super Empowered Individuals’

29 Desember 2009   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_45224" align="alignright" width="298" caption="Prita Mulyasari menangis haru usai diputus bebas di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa (29/12) (KOMPAS.com/Dhony Setiawan)"][/caption]

Berita vonis bebas kepadaPrita oleh Pengadilan Negeri Tangerang, mengingatkan saya pada The Super Empowered Individual nya Thomas Friedman. Dalam buku The Lexus and the Olive Treeyang terbit pertama kali tahun 1999, mantan wartawan itu menyebut adanya tiga keseimbangan dalam globalisasi, salah satunya ya itu tadi. Dukungan publik melalui dunia maya yang dapat mempengaruhi kebijakan negara, termasuk dalam kasus Bibit Chandra, menurut pendapat saya, membenarkan tulisan Friedman mengenai munculnya kekuatan ketiga pada era global yang disebut the super empowered individual. Mantan wartawan yang pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer itu berpendapat , globalisasi yang dikuatkan oleh teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet, ditandai dengan munculnya tiga kekuatan penyeimbang yang saling mempengaruhi yaitu kekuatan atau keseimbangan antar negara ( balance between nation states ), antar negara dengan pasar global ( nationstates and global markets ) dan ketiga disebutnya dengan balances between nationstates and the individuals. Yang ketiga inilah yang dapat ditengarai dengan berhasilnya dukungan melalui dunia maya pada kasus Prita Muloyasari dan Bibit Chandra.

Dalam era globalisasi ketika internet berkembang dan diakses sedemikian luas oleh multi strata sosial, seseorang dapat mengekspresikan dan mengatualisasikan diri, serta melakukan serangan terhadap kebijakan negara. Hal itu dilakukan melalui blog pribadi maupun kolektif, jejaring pertemanan ( mailing list, FB maupun Twitter ) atau email. Jauh sebelum kasus Prita Mulyasari dan Bibit Cahndra di negara kita, Jody Williams berjuang memerangipenghapusan ranjau darat melalui senjata ampuhnya yaitu ‘e-mail’. Melalui e-mail, Jody menjadi super-empowered individual yang berhadapan dengan kekuasaan antar negara. Ia menarik simpati dan berhasil memobilisasi sekitar 1000 LSM pejuang HAM dan pengontrol senjata. Atas inisiatif dan usahanya itu, Jody Williams pada tahun 1997 dianugerahi Nobel Peace Prize. Pengaruh super empowered individual ini semakin menguat jika dilakukan oleh individu berpengaruh dan ditakuti banyak negara di dunia. Kita masih ingat bagaimana negara superpower akhirnya bereaksi dan beraksi terhadap Osama Bin Laden, yang secara pribadi melalui jaringan yang ia miliki menyatakan ‘perang’ kepada Amerika Serikat !

Phenomena super empowered individuals di negeri kita ini menguat seiring perkembangan pengguna internet. Menurut sebuah sumber saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 30 juta orang. Meningkat sangat luar biasa dibanding tahun sekitar 11 juta pada tahun 2004, dan tak lebih dari 6 ratus ribu pada akhir tahun 90an. Dibanding 240 juta penduduknya, jumlah itu tidak seberapa. Tetapi, faktanya Indonesia menduduki peringkat ke 13 dunia dalam menggunakan internet. Perkembangannya, setidaknya menurut saya, sungguh luar biasa. Dua tahun lalu, ketika saya pulang kampung saya sulit mendapatkan internet. Tetapi saat lebaran yang lalu sudah ada beberapa warung internet yang buka di pinggiran Kebumen. Pun sudah ada komunitas khusus jejaring sosial FB cinta Kebumen. Anak anak remaja di kampung saya sana, beberapa sudah bisa mengakses internet dan mengirim serta mengomentari status FB lewat HP masing masing. Tidak hanya remaja yang berkomunikasi via HP, tetapi tukang becak yang nongkrong di mulut jalan desa, dan juga tukang bakso juga pakai HP.

Ada yang menarik untuk dicatat dari perkembangan super empowered individual pada tahun 2000 ini. Pada Pemilu 2004 dan 2009, serta PILKADA, pelaku super empowered individuals adalah tokoh politik dan barisan pendukungnya. Mereka menggunakannya untuk keperluan pemenangan Pemilu dan Pilkada. Ada yang berhasil ada yang tidak. Namun akhir 2009 ini terjadi yang sebaliknya. Individu melakukan pembelaan kepada individu yang lain karena dinilai didzolimi. Dukungan terhadap Pitra pada tahap pertama berhasil mendorong dikeluarkannya imbauan dari tokoh politik yang sedang punya kepentingan dalam Pemilu, untuk mendukung Prita. Tetapi ketika Pemilu usai, dukungan melalui dunia maya itu menguat kembali dengan sendirinya tanpa mendapat dukungan tokoh politik dan pemerintahan. Inisiator pendukung Prita, dan Bibit Chandra itulah yang, setidaknya menurut saya disebut dengan the real super empowered individuals yang menjadi penyeimbangan kekuatan state atau negara.

Menjadi pertanyaan, apakah kemudian setiap forum dukung mendukung yang digerakkan atas inisiatif individu melalui dunia maya berhasil ?Kenyataan menunjukkan, ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang tak beroleh sambutan. Seiring dengan kasus Prita dan Bibit Chandra ada yang coba coba membuka dukungan terhadap POLRI untuk memberantas Korupsidan tidak mendapatkan dukungan. Jika demikian, apa yang menyebabkan suatu gerakan dan seruan berhasil ? Di negeri kita ini, belajar dari dua kasus Prita, Bibit Chandra, dukungan munculkarena isu yang diangkat adalah menyasar pada praktik ketidak adilan, dan korupsi. Sasarannya elit politik. Kuncinya adalah terganggunya rasa keadilan kolektif yang terkait langsung dengan isu atau kasus yang sedang menjadi pusat perhatian. Sepertinya ada korelasi antara isu dan tokoh yang diangkat media massa dengan antusiasme publik. Isu dan tokohnya nampaknya mesti menasional atau cukup mendapatkan liputan di media nasional, isunyapunyang menyentuh rasa keadilan kolektif. Bagaimana jika tokoh dan isunya tidak sedang menjadi ‘hot issue’ atau tidak menasional ? Ini yang masih menjadi tanda tanya.

Lantas, apakah akan ada lagi, kasus baru yang semakin membuktikan pendapat Thomas Friedman mengenai ‘super empowered individuals ? Jangan-jangan Andalah yang akan memulai lagi.

Salam,

M. Kabul Budiono

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun