Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nenek Pendaki Jabal Nur ( Haji dan Nuansa Hati 10 )

29 November 2009   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:09 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bukit batu Jabal Nur itu telah memberi kenangan dan catatan khusus bagi saya. Suatu sore, setelah shalat Ashar, kami berempat ( saya, Dirman, Heryoko, dan Hasto ) berangkat dengan mobil menuju bukit yang terletak sekitar 6 kilometer sebelah utara Masjidil Haram di Mekah. Kami merupakan bagian tim liputan RRI yang bertugas meliput pelaksanaan ibadah haji pada tahun 1994. Tim kami juga beranggotakan Bang Dian Irianto dari Medan, dan Bung Herman Zuhdi dari RRI Jakarta. Ketika itu wukuf di Arafah sudah berlangsung. Kami masih harus tinggal di Mekah melakukan kegiatan liputan sampai kelompok terbang terakhir jemaah haji meninggalkan Arab Saudi. Perjalanan ke Bukit Nur merupakan bagian kegiatan liputan, sekaligus mencari pengalaman napak tilas perjalanan hidup Rasulullah Muhammad SAW. Di bukit itulah, pada tanggal 17 Ramadhan, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama Al Qur’an. Wahyu itu diterima ketika Rasulullah sedang berkontemplasi di Gua Hira’ yang berada di salah satu sisi bukit yang menjulang tinggi itu.

Seseorang mesti mendaki dengan berjalan kaki untuk sampai ke puncak bukit dan mendapati gua bersejarah itu. Mula mula, perjalanan tidaklah terlalu sulit. Pendakian awal memang menyenangkan. Kondisi fisik yang masih prima, cuaca sore hari yang cerah, sinar matahari yang tidak lagi terik, membuat pendakian awal begitu menyenangkan. Kami begitu bersemangat. Sekitar lima belas menit, track yang dilalui semakin terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Demikian seterusnya. Tidak ada pepohonan di bukit karang yang menjulang tinggi itu. Setengah jam sudah berlalu. Pendakian makin terjal saja. Heryoko pun memutuskan tidak melanjutkan pendakian. Ia kembali turun. Kami bertiga melanjutkan mendaki jalan setapak yang, kalau hujan pasti licinnya bukan main.Sore hari itu tidak cuma kami yang mendaki. Banyak yang lainnya. Ketika nafas sudah mulai terengah engah, di setengah perjalanan kami melewati seorang perempuan tua yang sudah agak bongkok. Ia mendaki dengan pelan.

-Wah, kapan nyampainya nenek ini, demikian Hasto mengomentari sambil tertawa. ‘ Kita yang muda saja ngos ngosan begini. Nekad juga tuh si nenek.’ Demikian komentarnya lebih lanjut.

Kamipun melewati si nenek. Hasto nampak bersemangat. Sekali kali juga jalan tidak terlalu terjal mendaki ia berlari lari. Saya dan bung Dirman sering tertinggal di belakang nya. Ia memang lebih muda dari saya. Puncak Jabal Nur rupanya tidak mudah dicapai. Sudah setengah jam lebih, kami belum juga sampai, sementara enerji sudah terkuras. Lutut saya sudah mulai terasa nyeri.

-Tidak jauh lagi, demikian kata Bung Dirman.

Hasto sudah mulai memperlambat langkah. Nafasnya sudah mulai terengah engah. Sayapun demikian. Lutut sudah semakin nyeri. Saya mulai membayangkan, bagaimana kalau turun nanti. Saya pun membayangkan bagaimana Rasulullah, hampir tiap malam mendaki bukit yang terjal ini. Sendirian. Ketika habis menerima ayat pertama surat al Alaq, Beliau malah menuruni bukit sambil berlari lari. Subhanallah.

Matahari sudah nyaris terbenam di ufuk barat. Kami belum juga sampai. Satu jam sudah berlalu. Kamipun tiba di lereng yang, seingat saya paling curam. Jalan setapak yang dilalui berada persis di sisi sebelah barat. Hari sudah rembang petang. Kemiringan hampir mencapai 80 derajat. Kami berada persis di tubir bukit. Saya melihat ke bawah. Masya Allah, tiba tiba mata saya berkunang kunang, lututpun terasa gemetar. Hasto juga demikian. Perut saya mual. Rupanya itu adalah efek daya grafitasi. Saya memang belum pernah berada pada ketinggian seperti itu. Mulailah muncul perdebatan dalam hati saya, melanjutkan atau tidak. Hasto ragu ragu. Bung Dirman yang tetap ingin melanjutkan. Tinggal sedikit lagi katanya. Maklum ia sudah pernah mendaki sebelumnya. Saya ketika itu sungguh merasa putus asa. Naik salah, turun jugaakan begitu jauh. Saya tidak lagi berani melihat ke bawah.

Tiba tiba dari jalan yang baru kami lalui. Nenek nenek yang kami lewati melangkah dengan pelan dan pasti. Mendaki, melewati kami.

-Lah, itu nenek yang tadi’, begitu Hasto melihatnya dengan heran. ‘ Kok bisa nyampai sini ya.

Sayapun heran. Kami yang muda sudah hampir tidak mampu lagi, ibu itu malahan gantian melewati kami.

-Ayo kita lanjutkan. Nenek itu saja kuat, masa kita tidak’ demikian kata saya memberi semangat. Maka kamipun melanjutkan. Puncak bukit Nur rupanya memang tidak jauh lagi. Subhanallah, akhirnya kami tiba di puncak bukit bersejarah itu. Di puncak bukti tidak sedikit jemaah yang sudah sampai terlebih dahulu. Tetapi saya tidak melihat nenek yang tadi itu. Mungkin ia sudah masuk di Gua Hira’. Demikian pikir saya. Di sebelah selatan, nampak kota Mekah begitu indah disirami lampu yang terang. Waktu Magribpun tiba. Adzan Magrib dari Masjidil Haram terdengar. Sangat menyentuh kalbu. Seorang jemaah melantunkan Adzan dari atas bukit. Kamipun melaksanakan Magrib, berjamaah.

Saya membayangkan bagaimana perasaan Nabi Muhammad saat berkotemplasi di Gua Hira’. Setiap kali hari beliau gundah karena melihat perilaku kaumnya, beliau naik ke mari. Berkontemplasi. Melihat Mekah dari jauh. Dari situ pula Allah memberi petunjuk melalui ayat pertama yang menyuruh umat manusia ‘ membaca’.

Bukit Jabal Nur telah memberikan catatan bagi saya. Walaupun sangat sedikit, dari atas bukit Nur itu, saya sudah belajar membaca. Manusia, rupanya tidak boleh memandang rendah kemampuan orang lain. Tidak pantas untuk sombong dan menakar kemampuan dirinya lebih ketimbang yang lain. Tidak seharusnya melecehkan seseorang yang menurut pandangan kita lemah. Melalui seorang nenek yang saya tidak tahu namanya, dan tidak jelas saya ingat wajahnya, telah memberi saya pelajaran berharga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun