Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyiasati Perang Kata untuk Capres/Cawapres di Dunia Maya

13 Mei 2014   22:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 3521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (TRIBUNNEWS/BIAN HARNANSA/HERUDIN)"][/caption]

Bung tolong kalau bodoh gak usah coment. Bikin malu ortumu," ini adalah satu di antara beratus mungkin ribuan tanggapan yang diberikan atas komentar seseorang yang menulis di laman opini berita sebuah portal berita. Yang lebih seru dari itu buanyak. Yang lebih nyinyir dan sarkastik juga tidak sedikit. Dan komentar seperti itu bukan bacaan aneh di dunia maya negeri kita.

Komentar versus komentar lain. Hal ini sudah sejak lama berlangsung ketika portal-portal dan blog sosial membuka komentar bebas dari pembacanya. Saling meng-counter dengan cara apa dan bagaimanapun di dunia maya makin seru menjelang Pemilu. Tulisan yang menjagokan seorang capres, segera saja mendapat tanggapan kontra dan pro. Lantas apa yang salah?

Pertama yang salah ya yang mau membaca tulisan-tulisan seperti itu, termasuk saya.

Kedua yang patut disesalkan adalah admin dari portal yang membiarkan silang kalimat yang sering tak semestinya itu berlangsung begitu saja tanpa sensor.

Ketiga? Apakah si penulis harus disalahkan? Ini patut didiskusikan lebih lanjut.

Di era ketika setiap orang boleh mengekspresikan ide lewat tulisan dan bebas berbeda pendapat, menyalahkan orang berekspresi bisa dicap melanggar hak asasi. Lagi pula media online dan cetak bukanlah media yang menggunakan public domain, atau ranah public seperti frekuensi. Seseorang bisa dianggap melanggar hukum jika ada pihak yang mengadukan karena pasal libel atau defamation. Jika tidak? Ya bablas saja.

Persoalan lain adalah, bagaimana mengadukan komentar di dunia maya yang kebanyakan memang tidak menggunakan nama sebenarnya. Biar seorang capres atau cawapres merasa difitnah atau didholimi masalah pribadinya, taklah mungkin ia lantas bisa mengadukan si komentator yang punya nama Giling Wesi, Putri Mandi, Sentul Kenyut atau sebangsanya. Atau mau mengadukan penulis artikel seperti Trio Macan? Paling-paling akhirnya malah jadi bulan-bulanan kicauan berikutnya. Jadi?

Internet sesungguhnya diciptakan untuk kebaikan. Demikian juga blog, baik yang social maupun yang pribadi.Dunia maya itu bisa menjadi alat kontrol sosial serta memperjuangkan hak dan kebenaran. Tentu juga menggapai kekuasaan atau menjatuhkannya. Dan itu banyak buktinya.

Berkat Facebook misalnya, pada tahun 2008 Will Anderson mahasiswa Universitas Florida berhasil menggagalkan usulan undang-undang mengenai beasiswa yang dinilainya merugikan mahasiswa berbakat seperti dirinya. Anderson lalu membuka halaman FB berjudul “Protect Your Bright Future”. Dalam sekejap ia mendapat dukungan dari lebih 20.000 facebookers. Ia kaget ketika kemudian menerima telepon dari Jeremy King yang menyatakan akan segera menarik draft undang-undang itu. King adalah seorang senator yang mengusulkan RUU tersebut. Di Indonesia juga sudah ada contohnya. Teman-teman pasti masih ingat. Twiter juga punya peran yang sama. Presiden Barack Obama terbantu oleh jejaring sosial ketika maju menjadi calon presiden untuk periode pertama. Sebaliknya jejaring sosial sudah terbukti menjadi pemicu Arab Springs dan menggerakkan people power yang menjatuhkan Husni Mubarak.

Jadi dampaknya bisa baik dan buruk. Kekuatan pembentukan opini melalui dunia maya terasa benar dilakukan menjelang Pemilihan Presiden ini. Diskursus intelektual dan cerdas, kalah dengan celotehan dan tulisan serta komentar-komentar saling menjelekkan bahkan menyerang pribadi – oleh mereka yang tidak berani menggunakan nama jelas. Istilah underground cyber army boleh jadi memang lagi jadi kenyataan di negeri ini. Terus bagaimana dong?

Kalau nggak mau pusing ya jangan buka-buka yang begituan. Baca saja tulisan dari mereka yang berani bertanggung jawab mencantumkan nama jelas beserta fotonya. Atau baca dan dengar serta tonton berita dan perbincangan yang memang dilakukan dengan professional. Yang lainnya, cari rekam jejak yang bersangkutan melalui sumber-sumber yang bisa dipercaya kebenarannya.

Dengan begitu, kita bisa tetap cerdas dan tidak terjebak dalam false consciousness alias kesadaran semu yang memang bisa diciptakan oleh media massa baik yang mainstream maupun alternatif atau maya.

Salam

Kabul Budiono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun