Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Saya teringat dengan potongan puisi sang penyair dunia Kahlil Gibran ini usai menonton film Losmen Bu Broto beberapa waktu lalu. Film yang merupakan adaptasi dari serial tahun 80-an berjudul sama ini menyajikan dinamika hubungan di dalam sebuah keluarga, terutama konflik-konflik yang sering terjadi antara orang tua dengan anak.
Konflik keluarga dalam film ini menarik untuk dibahas. Salah satu puncak konflik tersebut ketika Bu Broto (diperankan Maudy Koesnaedi) dengan tega mengusir anak perempuannya sendiri, Sri (diperankan Maudy Ayunda), karena melakukan kesalahan besar terkait hubungan asmaranya dengan lelaki yang dicintainya tapi bukan pilihan orang tuanya.
Ini menjadi akumulasi dari berbagai ketegangan yang sebetulnya melingkupi keluarga Bu Broto. Mulai dari Bu Broto yang teguh memegang prinsip dan budayanya, Pur (diperankan Putri Marino) kakaknya Sri yang merasa selalu berada di bawah bayang-bayang adiknya, hingga Sri-nya sendiri yang selera musik hingga asmaranya ditentang oleh sang Ibu.
Saya yakin drama keluarga yang disajikan di dalam film ini terkoneksi dengan banyak orang. Konflik-konflik yang hadir di dalamnya terasa dekat dengan kehidupan nyata. Apakah kita pernah mengalami sebagai orang tua bagaimana sulitnya mengatur anak? Apakah kita sebagai anak pernah merasakan bagaimana orang tua tidak mau tahu dan tidak mau paham dengan dunia kita?
Bu Broto berusaha melawan perubahan jaman. Dia keukeuh mempertahankan budaya yang termanifestasikan dalam bentuk tata cara berpakaian, berperilaku, hingga cara mengelola Losmen. Itu baik di satu sisi, namun di sisi lain ada memang hal-hal yang membutuhkan penyesuaian yang mungkin saja membuat tidak nyaman pada mulanya.
Setiap orang tua tentu punya harapan yang menurutnya baik bagi anak-anaknya. Akan tetapi harapan itu terkadang tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan anak. Juga harapan itu mungkin sudah dianggap usang dan tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman. Walaupun boleh jadi harapan itu memuat sesuatu yang baik, sesuatu yang memang seharusnya ada. Namun cara orang tua menyampaikannya justru membuat anak tidak mampu menangkap pesan. Bahkan kadang terjadi distorsi yang begitu jauh.
Sebagai contoh, ada orang tua yang memaksakan kehendak agar anaknya sukses di masa depan. Tapi satu-satunya definisi sukses dalam pikiran orang tua itu adalah anaknya harus kuliah di kedokteran.
Sementara sang anak punya bakat di bidang lain, dan dia yakin akan menjadi sukses di bidang itu. Sebenarnya jika diambil benang merahnya, orang tua dan anak sama-sama ingin mewujudkan kesuksesan itu. Namun pada praktiknya pengertian keduanya berbeda. Dan itu tidak terkomunikasikan dengan baik. Konflik kadang terjadi bukan karena berbeda tujuan tapi karena masing-masing pihak tidak mampu saling memahami.
Perkembangan teknologi jaman now semakin membuat orang tua dan anak berjarak. Masing-masing sibuk dengan dunia maya. Mungkin kita sering melihat di restoran sebuah keluarga yang sedang makan malam justru sibuk dengan gawainya. Minim percakapan, minim canda tawa. Kita hidup di era digital yang membuat kehidupan sosial orang berpindah ke dunia maya.
Kadang ada orang tua terkaget-kaget sendiri melihat perkembangan anaknya yang bisa tahu banyak hal. Itu sangat mungkin karena semua bisa diakses dari layar smartphone. Karena itu, orang tua jaman now dituntut untuk menjadi pembelajar cepat.
Puisi Kahlil Gibran di atas mengingatkan bahwa bagaimanapun anak suatu saat akan melesat jauh meraih takdirnya sendiri. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa bagaimana di melesat bergantung pada orang tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H