Mohon tunggu...
Muhammad Julijanto
Muhammad Julijanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Tuangkan apa yang ada di dalam pikiranmu, Karena itu adalah mutiara yang indah untuk dinikmati yang lain bila dituangkan, Tetapi bila dipendam hanya untuk diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemenuhan Hak Difabel Agenda Bersama

12 Desember 2023   11:22 Diperbarui: 12 Desember 2023   11:32 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tema diskusi tematik tentang isu disabilitas. dokpri

Pemenuhan Hak Difabel Agenda Bersama

Oleh Muhammad Julijanto

Setiap tanggal 3 Desember, masyarakat dunia memperingati hari penyandang dsabilitas International. Hal ini setelah sebelumnya tahun 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) menyepakati konvensi untuk melindungi hak 650 juta jiwa difabel sedunia.

Di Indonesia jumlah difabel menurut data WHO berjumlah 22 juta jiwa atau hampir 10 % dari total populasi, yang terdiri dari penyandang disabilitas netra (blin), penyandang disabilitas wicara (dumb), penyandang disabilitas rungu (deaf), penyandang disabilitas lumpuh (paralyze) dan jenis-jenis penyandang disabilitas lain. Sementara menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (Kemenkopmk) 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia (https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-penuhi-hak-penyandang-disabilitas-di-indonesia). 

Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas yang disahkan melalui Undang-Udang Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah juga telah menerbitkan tujuh Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Konvensi tersebut melarang pembatasan hak kaum difabel dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan politik (Waryono Abdul Ghafur, 2020: 7). Pendidikan inklusi sudah mulai menggeliyat bahkan setiap pemerintah daerah ramai-ramai membuat perda penyandang disabilitas dalam rangka memenuhi 25 hak disabilitas dalam semua lini kehidupan.

Dunia kerja saat ini mengalami keterpurukan yang mendalam akibat pandemic, banyak perusahan yang merumahkan para pekerjanya untuk efisiensi dan melambatnya sektor ekonomi mikro dan makro. Yang berdampak kepada semua lapasian masyarakat termasuk penyandang disabilitas. Karena termasuk kelompok masyarakat yang rentan dalam berbabagi sektor. Oleh karena itu perlu adanya afirmasi terhadap peran-peran penyandang disabilitas dalam partisipasi kehidupan sosial ekonomi. Penyedia lapangan pekerjaan bagi kalangan Lembaga/ instansi pemerintah 2 % dari jumlah tenaga kerja. Dan dunia swasta menyediakan lapangan pekerjaan 1% untuk penyandang disabilitas.

Padahal, dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, mewajiban perusahaan swasta untuk mem perkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja. Inilah hak-hak penyandang disabilitas yang membutuhkan kepedulian, penghormatan dan pemenuhan dari berbagai stakeholder yang ada dalam Masyarakat.

Pada tahun politik semua warga akan menggunakan hak politiknya sebagai masyarakat pemilih, penyelenggara pemilu maupun pesertai pemilu sebagaimana UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pemilu yang akses untuk semua lapisan masyarakat baik difabel maupun non difabel. Seperti tidak ada diskriminasi dalam pendataan pemilih yang secara konstitusional sudah memenuhi syarat usia 17 tahun terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Akses untuk tempat pemungutan suara untuk penyandang disabilitas bisa mengggunakan hak pilihnya secara mudah dan aman, penyandang disabilitas Netra tersedia template surat suara yang disesuaikan dengan kebutuhannya.

Sementara dalam Fikih Islam masih belum tuntas dalam membahas masalah disabilitas. Misalnya ada kesan mengabaikan terhadap kaum difabel, terutama dalam merumuskan beberapa ketentuan yang dikenal dengan syarat atau rukun. Kitab Fikih Klasik belum menjelaskan secara rinci terhadap syarat sah wudhu bagi difabel yang tidak memiliki lengan dan kaki sebagai contoh. Kitab Fikih juga belum mengatur secara jelas bagaimana syarat sahnya ijab dan qabul pernikahan bagi para difabel tuli/bisu. Bahkan pembahasan Fikih pun tidak kritis terhadap konstruksi bangunan tempat ibadah masjid maupun mushala yang belum akses untuk difabel. Hasil riset (Arif Maftuhin, 2018) mayoritas masjid belum mempunyai sensifitas terhadap akses difabel dalam pemenuhan hak ibadah. Ini merupakan pekerjaan rumah dari sisi hak keagamaan yang harus disikapi para ulama dan tokoh agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun