Pemenuhan Hak Difabel Agenda Bersama
Oleh Muhammad Julijanto
Setiap tanggal 3 Desember, masyarakat dunia memperingati hari penyandang dsabilitas International. Hal ini setelah sebelumnya tahun 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) menyepakati konvensi untuk melindungi hak 650 juta jiwa difabel sedunia.
Di Indonesia jumlah difabel menurut data WHO berjumlah 22 juta jiwa atau hampir 10 % dari total populasi, yang terdiri dari penyandang disabilitas netra (blin), penyandang disabilitas wicara (dumb), penyandang disabilitas rungu (deaf), penyandang disabilitas lumpuh (paralyze) dan jenis-jenis penyandang disabilitas lain. Sementara menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (Kemenkopmk) 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia (https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-penuhi-hak-penyandang-disabilitas-di-indonesia).Â
Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas yang disahkan melalui Undang-Udang Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah juga telah menerbitkan tujuh Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Konvensi tersebut melarang pembatasan hak kaum difabel dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan politik (Waryono Abdul Ghafur, 2020: 7). Pendidikan inklusi sudah mulai menggeliyat bahkan setiap pemerintah daerah ramai-ramai membuat perda penyandang disabilitas dalam rangka memenuhi 25 hak disabilitas dalam semua lini kehidupan.
Dunia kerja saat ini mengalami keterpurukan yang mendalam akibat pandemic, banyak perusahan yang merumahkan para pekerjanya untuk efisiensi dan melambatnya sektor ekonomi mikro dan makro. Yang berdampak kepada semua lapasian masyarakat termasuk penyandang disabilitas. Karena termasuk kelompok masyarakat yang rentan dalam berbabagi sektor. Oleh karena itu perlu adanya afirmasi terhadap peran-peran penyandang disabilitas dalam partisipasi kehidupan sosial ekonomi. Penyedia lapangan pekerjaan bagi kalangan Lembaga/ instansi pemerintah 2 % dari jumlah tenaga kerja. Dan dunia swasta menyediakan lapangan pekerjaan 1% untuk penyandang disabilitas.
Padahal, dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, mewajiban perusahaan swasta untuk mem perkerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja. Inilah hak-hak penyandang disabilitas yang membutuhkan kepedulian, penghormatan dan pemenuhan dari berbagai stakeholder yang ada dalam Masyarakat.
Pada tahun politik semua warga akan menggunakan hak politiknya sebagai masyarakat pemilih, penyelenggara pemilu maupun pesertai pemilu sebagaimana UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pemilu yang akses untuk semua lapisan masyarakat baik difabel maupun non difabel. Seperti tidak ada diskriminasi dalam pendataan pemilih yang secara konstitusional sudah memenuhi syarat usia 17 tahun terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Akses untuk tempat pemungutan suara untuk penyandang disabilitas bisa mengggunakan hak pilihnya secara mudah dan aman, penyandang disabilitas Netra tersedia template surat suara yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
Sementara dalam Fikih Islam masih belum tuntas dalam membahas masalah disabilitas. Misalnya ada kesan mengabaikan terhadap kaum difabel, terutama dalam merumuskan beberapa ketentuan yang dikenal dengan syarat atau rukun. Kitab Fikih Klasik belum menjelaskan secara rinci terhadap syarat sah wudhu bagi difabel yang tidak memiliki lengan dan kaki sebagai contoh. Kitab Fikih juga belum mengatur secara jelas bagaimana syarat sahnya ijab dan qabul pernikahan bagi para difabel tuli/bisu. Bahkan pembahasan Fikih pun tidak kritis terhadap konstruksi bangunan tempat ibadah masjid maupun mushala yang belum akses untuk difabel. Hasil riset (Arif Maftuhin, 2018) mayoritas masjid belum mempunyai sensifitas terhadap akses difabel dalam pemenuhan hak ibadah. Ini merupakan pekerjaan rumah dari sisi hak keagamaan yang harus disikapi para ulama dan tokoh agama.