Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Kata Neuroscience mengenai Ibu Pengemis Pemarah?

4 Mei 2024   09:28 Diperbarui: 4 Mei 2024   09:52 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin Anda sudah membaca di berbagai media, ada seorang ibu yang hidup menggelandang meminta sedekah di beberapa kota di Jawa Barat. Ibu ini menjadi berita, karena beberapa warga sempat memviralkan video ibu itu yang sedang memaki-maki orang yang tidak memberinya sedekah. Berkacamata dan mengenakan pakaian yang baik dan bersih, ibu ini selalu terlihat menenteng beberapa kantong plastik yang agak besar. Menurut ibu itu, ia tidur di mesjid selama menggelandang dari satu kota ke kota lainnya. Beberapa hari lalu ia sudah dimasukkan oleh petugas ke panti rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan, karena diduga mengalami gangguan jiwa.

Bagi beberapa orang, mungkin tidak aneh melihat ibu dengan perangai pemarah itu, karena ada kerabatnya atau orangtuanya sendiri yang berubah menjadi pemarah setelah berusia lanjut. Biasanya mereka hanya memaklumi, karena dianggap sudah mulai pikun atau mengalami dimentia. Namun ibu ini tidak terlihat sudah berusia lanjut. Usianya hanya kira-kira di angka 50an saja. Belakangan terungkap usianya 56 tahun.

Apa yang terjadi dengan ibu itu?

Hasil investigasi yang dilaporkan media mengenai latar belakang ibu ini sejauh ini belum terlalu banyak. Belum banyak konfirmasi yang diberikan oleh orang-orang yang pernah mengenal ibu itu sebelumnya. Sementara menurut ibu itu, ia sudah menggelandang sepanjang beberapa tahun terakhir. Menurut warga di sebuah wilayah di Bandung, ibu itu pernah tinggal di wilayahnya sekitar 14 tahun lalu. Sehingga latar belakang ibu itu masih gelap.

Sebagai citizen scientist, sejak 2015 saya sudah menyimak dengan serius berbagai buku, artikel, video, ceramah, kuliah, news, seputar neuroscience yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini. Sudah ada ratusan artikel dan video yang saya bagikan untuk melaporkan semua perkembangan itu. Mungkin apa yang saya tulis di bawah ini bisa berguna untuk memahami fenomena yang sebenarnya ada di sekitar kita itu.

Otak dan Stress


Bukan mau menyederhanakan, tapi apa yang terjadi di otak memang menjadi akar dari Karakter, perilaku, personality, kecerdasan, moralitas, empati, dan lain-lain.

Bahkan kemampuan seseorang dalam Emotion Regulation bisa "diutak-atik" oleh neuroscientists di berbagai riset. Itu karena Emotion Regulation adalah soal bagaimana beberapa bagian penting di otak berinteraksi satu sama lain. Satu buku paling best seller di seputar topik Emotion Regulation adalah "Emotional Intelligence" yang ditulis oleh Daniel Goleman pada tahun 1995.

Ini lebih "sederhana" lagi: menurut neuroscience, stress adalah faktor paling utama yang mengubah otak dan mengubah fungsi utamanya. Otak berubah, gara-gara stress, lalu personality juga berubah, bahkan kecerdasan, kewarasan berubah ke arah negatif, juga kemampuan dalam Emotion Regulation.

Tentu bukan stress saja yang mengubah otak. Faktor lain yang mengubah otak, misalnya penyakit di otak seperti tumor, trauma (benturan) pada otak, atau juga trauma berat berupa kejadian, parenting, atau juga praktik "brain washing" yang terjadi di media sosial (medsos) tanpa banyak disadari oleh pengguna medsos. Juga faktor keturunan yang menentukan bagaimana otak berkembang di masa bayi, anak-anak, hingga dewasa.

Lalu, apa yang menyebabkan atau memicu stress? Cuma 2 sumbernya:
1. Dari luar diri Anda (apa terjadi di sekitar, atau terjadi menimpa Anda.
2. Dari dalam diri kita sendiri, yaitu dari pikiran kita yang cenderung menerawang kesana-kemari tanpa arah dan tanpa kita sadari serta tanpa kita bisa kendalikan. Para neuroscientists menyebut itu dengan mind-wandering.

Apa yang terjadi di luar diri Anda (nomor 1) nyaris tidak bisa Anda tolak atau tidak bisa Anda hindari, padahal akibatnya otak menjadi rusak.

Pikiran yang cenderung untuk melakukan mind-wandering (nomor 2) juga nyaris tidak bisa Anda hindari. Menurut Michael Corballis, neuroscientist dari New Zealand, mind-wandering adalah memang default mode dari otak semua mamalia, apalagi Homo sapiens.

Meski mind-wandering memicu stress atau menambah tingkat stress, namun jangan lupa ini: Anda membutuhkan stress. Artinya stress itu penting agar Anda bisa bertahan hidup atau selamat dari bahaya yang bermacam-macam bentuknya sepanjang hidup Anda.

Contoh stress yang paling sederhana adalah: Saat Anda berada di hutan, Anda mampu meloncat cepat untuk kabur seketika dan kencang saat melihat kawanan gajah besar menyerbu ke arah Anda. Ada hormon cortisol yang terpicu keluar saat Anda merasa terancam. Cortisol ini membajak beberapa bagian penting otak untuk tidak bekerja untuk sementara (bagian yang menghasilkan executive function). Sebagai gantinya hanya bagian reptilian brain saja yang bekerja, yaitu untuk menghasilkan aksi: fight or flight saja.

Jika reptilian brain saja yang bekerja, itu artinya Anda seperti tidak memiliki cerebral cortex yang di dalamnya ada PFC (Prefrontal Cortex) yang menghasilkan executive function. Terlalu sering mengalami stress, berakibat PFC Anda menjadi tumpul. Tidak hanya itu, amygdala Anda menjadi liar menghasilkan berbagai negative emotions.

Jadi secara umum stress merusak fungsi beberapa bagian penting otak, sehingga rusak pula kemampuan kognitif, perilaku, moralitas, empati, juga positive emotions dan lain-lain.

Ini satu lagi yang cukup penting: Periode stress sebenarnya cepat berakhir, karena gajah tidak akan mengejar Anda terus-menerus. Meski begitu, kejadian yang traumatic bisa berputar-putar di kepala Anda untuk waktu yang sangat lama, sehingga memicu stress baru. Anda bisa takut melihat rumput yang tinggi, atau suara keras yang tiba-tiba, karena cemas ada kawanan gajah besar di balik rumput. Apalagi jika pemicu stress muncul berulang-ulang.

Pemicu stress bermacam-macam, misalnya: pasangan hidup atau rekan kerja, juga boss yang toxic, lingkungan kerja yang stressful, kehilangan mata pencaharian, ditipu orang, menderita sakit berat, ditinggal mati oleh orang yang dicintai, kemiskinan, apalagi jika berkepanjangan, mengalami tragedi, bencana, wabah besar apalagi pandemi, dan lain-lain.

Pemicu stress yang paling laten sebagaimana sudah disebut di atas sebelumnya, namun tidak disadari atau sering diabaikan banyak orang adalah: mind-wandering atau pikiran yang terlalu sering, terlalu cepat berkelana kesana-kemari tanpa terkendali, dan tanpa Anda bisa sadari. Beberapa orang memang memiliki kecenderungan mind-wandering yang lebih tinggi daripada orang normal.

Sudah banyak riset yang menemukan kaitan erat antara mereka yang bolak-balik masuk penjara dengan mind-wandering atau ADHD. Philip Asherson adalah salah satu neuroscientist yang melakukan riset seputar itu. Asherson menemukan mereka yang bolak-balik masuk penjara tidak punya kontrol pada banyak hal. Mereka disebut sociopath, karena memiliki karakter antisocial yang dijelaskan di DSM-5 (manual untuk menentukan AntiSocial Personality Disorder). Sociopathy berkaitan dengan mind-wandering dan juga berkaitan erat dengan ADHD. Meski demikian, Anda tidak bisa menyimpulkan, setiap ADHD adalah sociopath atau yang semacam itu.

Penutup

Jadi apa yang sebaiknya dilakukan pada ibu peminta sedekah yang sering memaki orang itu?

Dulu cara yang umum adalah mengajak ibu itu berbicara dari hati ke hati, supaya keluar berbagai cerita apa saja yang pernah dialami ibu itu. Namun neuroscience tidak menggunakan cara itu. Neuroscience memberikan terapi langsung untuk menurunkan tingkat stress ibu itu. Tujuannya tidak ada yang lain, yaitu mengembalikan fungsi otaknya membaik, agar perangainya juga membaik, karena executive function di otaknya membaik.

Apa terapi yang diberikan oleh neuroscience untuk menurunkan tingkat stress? Jawabnya: mindfulness practices atau meditasi.

Ingat, seperti sudah disebut sebelumnya di atas, dua pemicu stress yang utama nyaris tidak bisa kita hindari atau tolak, namun tingkat stress bisa diturunkan.

Namun itu bukan berarti sangat mudah untuk memberikan terapi meditasi pada ibu itu, karena sangat sulit meminta atau mengajarkan meditasi pada orang yang sedang mengalami stress berat. Apalagi ada resistensi pada meditasi di beberapa kelompok masyarakat, karena misalnya meditasi dianggap menyembah setan dan lain-lain. Meski begitu, terapi ini masih lebih mudah daripada terapi yang sudah umum dipraktikkan sebelumnya, bahkan lebih murah, dan bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Mengenai cara meditasi atau pembahasan lebih dalam seputar mindfulness practices, saya sudah menulis cukup banyak artikel atau video. Silakan untuk menyimaknya.

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun