Apa yang terjadi di luar diri Anda (nomor 1) nyaris tidak bisa Anda tolak atau tidak bisa Anda hindari, padahal akibatnya otak menjadi rusak.
Pikiran yang cenderung untuk melakukan mind-wandering (nomor 2) juga nyaris tidak bisa Anda hindari. Menurut Michael Corballis, neuroscientist dari New Zealand, mind-wandering adalah memang default mode dari otak semua mamalia, apalagi Homo sapiens.
Meski mind-wandering memicu stress atau menambah tingkat stress, namun jangan lupa ini: Anda membutuhkan stress. Artinya stress itu penting agar Anda bisa bertahan hidup atau selamat dari bahaya yang bermacam-macam bentuknya sepanjang hidup Anda.
Contoh stress yang paling sederhana adalah: Saat Anda berada di hutan, Anda mampu meloncat cepat untuk kabur seketika dan kencang saat melihat kawanan gajah besar menyerbu ke arah Anda. Ada hormon cortisol yang terpicu keluar saat Anda merasa terancam. Cortisol ini membajak beberapa bagian penting otak untuk tidak bekerja untuk sementara (bagian yang menghasilkan executive function). Sebagai gantinya hanya bagian reptilian brain saja yang bekerja, yaitu untuk menghasilkan aksi: fight or flight saja.
Jika reptilian brain saja yang bekerja, itu artinya Anda seperti tidak memiliki cerebral cortex yang di dalamnya ada PFC (Prefrontal Cortex) yang menghasilkan executive function. Terlalu sering mengalami stress, berakibat PFC Anda menjadi tumpul. Tidak hanya itu, amygdala Anda menjadi liar menghasilkan berbagai negative emotions.
Jadi secara umum stress merusak fungsi beberapa bagian penting otak, sehingga rusak pula kemampuan kognitif, perilaku, moralitas, empati, juga positive emotions dan lain-lain.
Ini satu lagi yang cukup penting: Periode stress sebenarnya cepat berakhir, karena gajah tidak akan mengejar Anda terus-menerus. Meski begitu, kejadian yang traumatic bisa berputar-putar di kepala Anda untuk waktu yang sangat lama, sehingga memicu stress baru. Anda bisa takut melihat rumput yang tinggi, atau suara keras yang tiba-tiba, karena cemas ada kawanan gajah besar di balik rumput. Apalagi jika pemicu stress muncul berulang-ulang.
Pemicu stress bermacam-macam, misalnya: pasangan hidup atau rekan kerja, juga boss yang toxic, lingkungan kerja yang stressful, kehilangan mata pencaharian, ditipu orang, menderita sakit berat, ditinggal mati oleh orang yang dicintai, kemiskinan, apalagi jika berkepanjangan, mengalami tragedi, bencana, wabah besar apalagi pandemi, dan lain-lain.
Pemicu stress yang paling laten sebagaimana sudah disebut di atas sebelumnya, namun tidak disadari atau sering diabaikan banyak orang adalah: mind-wandering atau pikiran yang terlalu sering, terlalu cepat berkelana kesana-kemari tanpa terkendali, dan tanpa Anda bisa sadari. Beberapa orang memang memiliki kecenderungan mind-wandering yang lebih tinggi daripada orang normal.
Sudah banyak riset yang menemukan kaitan erat antara mereka yang bolak-balik masuk penjara dengan mind-wandering atau ADHD. Philip Asherson adalah salah satu neuroscientist yang melakukan riset seputar itu. Asherson menemukan mereka yang bolak-balik masuk penjara tidak punya kontrol pada banyak hal. Mereka disebut sociopath, karena memiliki karakter antisocial yang dijelaskan di DSM-5 (manual untuk menentukan AntiSocial Personality Disorder). Sociopathy berkaitan dengan mind-wandering dan juga berkaitan erat dengan ADHD. Meski demikian, Anda tidak bisa menyimpulkan, setiap ADHD adalah sociopath atau yang semacam itu.
Penutup