Banyak pengamat politik yg menyebut kemenangan telak Prabowo-Gibran (PraGib) di pilpres kemarin adalah berkat "dukungan" Jokowi. Namun bagaimana Jokowi bisa memberi PraGib kemenangan telak itu? Satu jawaban sederhana: approval rating atau tingkat kepercayaan publik pada Jokowi di sekitar angka 80%. Itu angka yg sangat tinggi dan hanya sedikit pemimpin pemerintahan di dunia yg meraih angka setinggi itu.
Tapi muncul lagi pertanyaan berikutnya: bagaimana Jokowi bisa memperoleh angka approval rating setinggi itu?
Para pengamat politik tentu punya jawaban yg tandas. Semuanya hampir sama menyebut, bahwa Jokowi memiliki kualitas permainan catur politik yg sangat tinggi atau di atas rata-rata politisi lainnya di Indonesia.
Sebagai penulis yg sudah menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience sejak 2015, tentu saja saya tidak sedang membahas permainan catur Jokowi. Di artikel ini, saya mencoba melihat fenomena Jokowi ini dari kacamata neuroscience yg berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk politik.
=0=
Approval rating atau tingkat kepuasan atau tingkat kepercayaan publik ini adalah bagaimana masyarakat mempersepsikan pemimpinnya, sehingga mereka tunduk atau patuh atau ikut pada langkah apapun yg diambil pemimpinnya. Tentu masyarakat berasumsi pemimpinnya membawa mereka pada kebaikan.
Dengan demikian kata lain dari approval rating adalah leadership.
Leadership menjadi bahasan yg menarik sejak dahulu kala. Socrates berkata: "People should be governed by those with the greatest knowledge, abilities and virtues, and who possessed a deep knowledge of themselves."
Tentu banyak yg membahas apa yg dimaksud dengan "A Deep Knowledge of Themselves". Daniel Goleman, penulis buku bestseller di tahun 1995: "Emotional Intelligence" mungkin membahas hal yg sama dengan yg dibahas oleh Socrates, namun Goleman menyebutnya dengan 2 sebutan ini: 1. Self-Awareness, 2. Self-Regulation.
Selain Goleman, para neuroscientists juga membahas "A Deep Knowledge of Themselves". Namun neuroscience memiliki sebutan yg berbeda lagi, yaitu Emotion Regulation.
Buku Goleman yg disebut di atas dan apa yg ditulis Goleman seputar topik di atas membuat Goleman disebut sebagai seorang expert di bidang Leadership dan Emotion Regulation. Goleman diakui telah mendorong berbagai riset lanjutan untuk memperdalam topik itu yg terutama dilakukan oleh para neuroscientists.
Topik leadership menjadi semacam topik populer sejalan dengan dunia usaha atau berbagai industri yg makin kompleks dan kompetitif. Sehingga kemudian banyak yg menawarkan berbagai cara paling ampuh untuk memiliki leadership.
Jadi mungkin sekali Jokowi mempelajari cara memiliki leadership secara mendalam, meski diam-diam. Mungkin saja Jokowi mempelajari leadership yg diajarkan melalui (setidaknya) 2 buku Daniel Goleman: Â "Emotional intelligence", 1995 dan "Leadership: The Power of Emotional Intelligence", 2011.
Goleman tidak menyebut Emotion Regulation dalam buku-bukunya, namun Goleman menyebut self-awareness dan self-regulation sebagai gantinya, sebagaimana sudah disebut di atas.
Kata Emotion Regulation memang dipopulerkan oleh neuroscience yg dilengkapi dengan penjelasan bagaimana emotion regulation terbentuk di otak. Itu yg kurang dijelaskan oleh Goleman. Meski demikian, buku atau artikel yg ditulis Goleman diakui dunia sebagai cara terbaik untuk memiliki leadership yg mumpuni.
Namun mungkin juga Jokowi tidak pernah membaca semua buku atau tidak pernah mempelajari cara memiliki leadership. Mungkin saja Jokowi adalah seorang yg secara alami memiliki leadership yg kuat yg bisa terlihat jelas saat berada di posisi yg tinggi di masyarakat.
Mengacu pada "Emotional Intelligence" yg ditulis Goleman, Leadership yg baik mensyaratkan adanya komponen utama, yaitu Emotional Regulation (self-awareness dan self-regulation) yg menurut berbagai riset neuroscience menghasilkan Empathy (komponen keempat dari "Emotional Intelligence") yg juga akhirnya menghasilkan Social Skills (komponen kelima).
Jadi Emotion Regulation adalah syarat utama dari leadership yg terindikasi dimiliki oleh Jokowi dibanding politisi lainnya di Indonesia.
Berbagai riset neuroscience menyebutkan Emotion Regulation adalah kemampuan memahami atau menyadari setiap emotions, terutama negative emotions yg muncul atau terbentuk di diri seseorang. Kemampuan ini juga disebut para ahli sebagai kemampuan "observe the observer" (penjelasannya ada di bahasan seputar mindfulness practice).Â
Kemampuan ini mengurangi dampak negatif dari setiap emotions yg terbentuk. Ia menjadi tidak gampang terlalu senang, terlalu sedih, terlalu marah, dll. Semua emotions yg terbentuk hanya teramati saja tanpa memberi dampak negatif. Malahan ia memiliki kemampuan untuk mengatur hanya positive emotion saja yg boleh terbentuk.
Emotion Regulation juga termasuk memahami (terutama) negative emotions dari orang lain. Kemampuan ini membuat seseorang dapat merespon Negative Emotion orang lain dengan tepat. Kemampuan ini disebut juga dengan Empathy. Semakin besar Empathy, semakin ia mudah menangkap Negative Emotion dari orang lain dan semakin tepat ia meresponnya. Itu sebabnya mereka yg kurang memiliki Empathy disebut kejam atau jahat, karena mereka tidak mampu merespon dengan tepat Negative Emotion orang lain.
Neuroscience juga menyebutkan, bahwa Emotion Regulation membuat kerja Prefrontal Cortex (PFC) menjadi maksimal, terutama dalam menghasilkan Executive Function, yaitu beberapa fungsi seperti cognitive, creativity, innovation, pemecahan masalah, termasuk pertimbangan yg waras atau morality, empathy, dll. Semua itu tidak dimiliki oleh species selain manusia. Species lain bergerak, "berpikir", bertindak, atau merespon apapun hanya berdasarkan nalurinya atau impulse-nya saja.
Semua itu juga kurang dimiliki oleh mereka yg disebut memiliki mental disorder atau personality disorder.
Jokowi telah menjalani 2 periode jabatan presidennya, namun ia telah menanggung berbagai tuduhan atau hujatan, seperti tukang kayu, PKI, antek asing, antek aseng, planga-plongo, Mukidi, dll. Bahkan di pilpres 2024 ini Jokowi menanggung lebih banyak hujatan baru, seperti: perusak demokrasi, tak memiliki etika, menabrak konstitusi, membangun politik dinasti, nepotisme, haus kekuasaan, dll.
Tanpa Emotion Regulation yg baik, tuduhan atau hujatan atau tekanan berat itu akan merusak kerja dari PFC Jokowi.
Namun kita lihat sendiri, Jokowi malah tetap bisa menghasilkan beberapa prestasi besar, seperti "mengembalikan" tambang emas Freeport dari tangan Amerika kembali ke Indonesia. Jokowi juga menghentikan ekspor nikel mentah, karena tidak menguntungkan Indonesia dan membuat Indonesia tetap berada di lapisan bawah perekonomian dunia.
Masih banyak prestasi yg telah dihasilkan Jokowi yg menunjukkan PFC Jokowi tetap bekerja dengan baik. Pembangunan infrastruktur ekonomi juga sebuah prestasi Jokowi yg lain. Meski begitu ada juga yg menunjukkan Jokowi kurang fokus pada beberapa persoalan penting di Indonesia.
Jokowi juga meningkatkan angka index dekorasi di Indonesia, meski tidak terlalu signifikan. Prestasi ini mungkin sering terabaikan. Juga index kebahagiaan. GDP and growth meningkat, dll.
Hasil survei Populi Center di awal bulan Februari 2024 menunjukkan Presiden Jokowi, dan berbagai lembaga negara mendapatkan tingkat kepuasan tertinggi dalam sejarah Indonesia (lihat gambar di bawah).
PENUTUP
Berkat dukungan Jokowi pada pasangan Prabowo-Gibran menjadikan pasangan ini sekuat citra Jokowi. Sehingga bukan pasangan Prabowo-Gibran yg melawan pasangan Anies-Imin atau pasangan Ganjar-Mahfud, tetapi Jokowi yg melawan 2 pasangan lain itu.
Emotion Regulation yg dimiliki Jokowi terbukti membawa Jokowi memenangkan 2 kali pilkada, yaitu di Solo dan Jakarta dan 2 kali pilpres. Tentu itu tidak sebanding dengan lawannya: Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud yg kurang berprestasi dan kurang berpengalaman.
Sekarang muncul pula pertanyaan besar ini: bagaimana cara memiliki Emotion Regulation sebesar Jokowi?Â
Tentu bisa dengan membaca apa yg ditulis oleh Daniel Goleman, atau buku yg ditulis penulis lainnya. Namun neuroscience juga memiliki jawaban untuk pertanyaan itu, meski tersebar di berbagai riset neuroscience. Saya sendiri sudah menulis beberapa artikel & video seputar itu beberapa tahun belakangan ini dan akan segera menerbitkan buku seputar Emotion Regulation ini.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H