Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Capres dengan Neuroscience

9 November 2023   09:27 Diperbarui: 9 November 2023   10:07 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Setneg/Biro Pers

Ada beberapa cara memilih capres yang sudah kita kenal selama ini.

Berdasarkan:
1. Track record: prestasi atau catatan hitam.
2. Program: apakah ia memiliki jawaban bagi tantangan masa depan, apakah ia menawarkan solusi bagi persoalan yang selama ini menggelayuti bangsa.

Namun jarang terdengar pemilih disarankan untuk memilih capres berdasarkan personality para capres, padahal personality bisa digunakan untuk mengukur potensinya dalam  merugikan atau membahayakan masyarakat, negara, bahkan kemanusiaan.

Neuroscience sejak beberapa dekade terakhir menyediakan cara mudah untuk mengamati personality capres. Saya sudah menulis beberapa artikel mengenai itu. Salah satunya klik di sini: Sociopath di Antara Calon Ini-Itu. Di artikel itu ada daftar ciri dari personality disorder yang mesti dikenali.

Ada beberapa personalities yang sering dibahas oleh neuroscience, namun personalities yang berbahaya yang tentu penting atau sering dibahas, misalnya sociopathy yang sebutan akademisnya adalah ASPD atau AntiSocial Personality Disorder. Kata antisocial itu bukan berarti orang yang menghindari interaksi sosial atau suka menyendiri, tetapi orang yang melawan atau kontra pada pada norma atau apa yang berlaku di masyarakat.

Secara singkat neuroscience menghimbau agar berhati-hati dengan orang dengan ciri sociopath yang ada di sekitar Anda, juga cara menghadapinya. Itu juga artinya Anda jangan sampai memilih sociopath sebagai pemimpin. Ada satu buku bagus yang menjelaskan secara rinci mengapa masyarakat malah cenderung memilih sociopath sebagai pemimpin. Buku itu berjudul "Why We Elect Narcissists & Sociopaths" yang ditulis oleh Bill Edy yang profilenya bisa dilihat di sini: (klik di sini).

Gambar: Goodreads.com
Gambar: Goodreads.com
Salah satu sebab mengapa masyarakat cenderung memilih sociopath sebagai pemimpin adalah, karena para politisi itu banyak yang manipulatif, atau pandai mencitrakan dirinya sebagai orang baik, mulia, pembela bangsa & negara, satria piningit, memiliki jawaban bagi segala persoalan bangsa dan lain-lain. Padahal ia mungkin penghisap darah, atau orang mampu menumpahkan darah masyarakat untuk kepentingannya sendiri.

Jika Anda membaca buku-buku seperti itu yang ditulis oleh para scientists, mata Anda akan lebih terbuka pada setiap ciri yang samar, apalagi ciri yang kentara dari para sociopath itu.

Jika semua capres ternyata semuanya memiliki ciri sociopath, maka sekali lagi Anda diminta untuk mempraktikkan prinsip lesser evil, yaitu pilih yang paling sedikit ciri sociopath-nya.

Jangan lupa, menurut beberapa riset sains, hampir semua politisi memiliki ciri sociopath. Buku "Why We Elect Narcissists & Sociopaths" juga menyebut itu.

Bagaimana dengan Pilpres 2024?

Ternyata Pilpres 2024 tidak sesederhana yang dibayangkan oleh banyak orang. Di 2014 & 2019 dengan mudah Anda bisa melihat siapa yang menjadi lesser evil. Tanpa peran besar dari para politisi atau tim sukses, masyarakat sudah kuat mendukung Jokowi di 2014 & 2019.

Sekarang di 2024 ada 3 capres yang mudah diukur dengan prinsip lesser evil juga. Mungkin sekali masyarakat lebih cenderung memilih GP karena terlihat sebagai the lesser evil, meski jika diukur dengan daftar ciri personality disorder GP tetap memiliki beberapa ciri dari sociopathy.

Sekali lagi, Pilpres 2024 berbeda, karena the lesser evil di 2014 & 2019, yaitu Jokowi nampaknya terindikasi "berpihak" atau "mendukung" pada satu capres, yaitu PS.

Mengapa Jokowi tidak berpihak pada lesser evil di 2024 ini, yaitu GP?

Mungkin jawabannya bisa ditemukan pada skandal U20. Saat itu terlihat sekali program Jokowi (menyelenggarkan U20 di Indonesia) disabotase oleh GP. Padahal program itu cukup lama dipersiapkan, bahkan sudah mengeluarkan uang banyak. Lalu pada menit terakhir GP menyatakan dengan beberapa alasannya "menolak" Timnas Israel untuk ikut berlaga di U20. Akibatnya FIFA membatalkan penyelenggaran U20 di Indonesia. Selain rugi, nama baik Indonesia tercoreng di mata dunia.

Skandal U20 mungkin sebuah petunjuk, bahwa presiden selama ini bisa dengan mudah bisa disabotase oleh parpol. Skandal U20 mungkin sebagai "hukuman" dari parpol untuk petugas partai yang bandel (meski ia presiden terpilih). Tentu itu buruk bagi NKRI yang ingin terus melesat maju di tahun-tahun mendatang.

Petunjuk kedua mungkin saja ada pada UU Perampasan Aset yang nampaknya "dijegal" terus oleh parpol, sehingga tidak kunjung terbit.

Lalu bagaimana dengan PS yang "didukung" Jokowi? Bukankah PS berpotensi juga menjadi boneka atau petugas partai dari parpol yang mendukungnya? Mungkin saja tidak, karena PS adalah ketum dari partai yang mengusungnya sebagai capres.

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun