Jessica Wongso bersalah membunuh temannya sendiri, Mirna Salihin dengan racun sianida dalam kopi yang diduga dimasukkan Jessica di sebuah coffee shop di Jakarta.
Netflix baru-baru ini merilis satu documentary yang membuat gempar Indonesia. Documentary ini tentang kasus pembunuhan yang sudah diputus oleh pengadilan di tahun 2016 lalu, yaitu:Dulu sudah muncul pro-kontra seputar jalannya persidangan itu. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa Jessica tidak bersalah. Ada kejanggalan menurut mereka. Otto Hasibuan, pengacara Jessica di dalam documentary itu mengakui ia berhasil mengubah opini sebagaian besar masyarakat untuk berpendapat Jessica tidak bersalah, karena beberapa argumen yang sudah disampaikannya di ruang pengadilan.Â
Sekarang, isi documentary Netflix itu menyegarkan kembali ingatan publik Indonesia. Lalu kembali muncul pro-kontra soal apakah Jessica bersalah atau tidak.
Di samping Otto Hasibuan, sejak dulu pengacara kondang Hotman Paris rajin mengomentari jalannya persidangan yang menurutnya antara lain, Jessica belum tentu bersalah, misalnya karena bukti kurang, dan motifnya tidak jelas. Sekarang Hotman Paris juga kembali mengomentari kasus itu, dan nampaknya lebih ramai daripada sebelumnya.
Kasus ini memang menarik perhatian beberapa ahli di dunia (baca di sini). Di antaranya adalah Dr. Todd Grande yang sudah membuat profiling puluhan orang yang terlibat kasus kejahatan yang terjadi di mana-mana.
Menurut Dr. Grande:
Kasus ini diputuskan berdasarkan atau dicampuri dengan latar belakang terdakwa, misalnya personality atau perilaku Jessica sebelum pembunuhan terjadi. Itu biasa diputuskan begitu di pengadilan negara lain, misalnya Amerika. Namun nampaknya itu kurang lumrah di Indonesia.
Kebetulan, Jessica tidak terekam oleh CCTV memasukan sianida ke dalam kopi yang diteguk oleh Mirna. Juga tidak ada saksi yang melihat itu. Di pakaian Jessica juga tidak ditemukan jejak sianida, juga di rumahnya. Bahkan bukti kopi sianidanya tidak jelas. Sehingga banyak yang beranggapan tidak cukup bukti untuk menuduh Jessica.
Dalam persidangan juga muncul perdebatan yang sangat seru, tentang penyebab kematian Mirna. Apakah karena racun sianida, atau oleh sebab yang lain? Jika bukan oleh racun sianida, maka ini bukan kasus pembunuhan. Jessica harus diputus tidak bersalah, karena Mirna tewas karena sebab yang lain, misalnya penyakit yang dideritanya.
Latar Belakang Perilaku Jessica atau Personality-nya Sebelum Pembunuhan Terjadi
Namun, jika melihat latar belakang kejiwaan (perilaku) Jessica atau personality-nya, maka Jessica memenuhi "syarat" untuk disangka membunuh Mirna. Berdasarkan itu, maka Jessica berada di tempat & waktu yang "tepat" saat Mirna tewas.
Setidaknya ada 2 perilaku Jessica yang menjadi latar belakang.
1. Perilaku Jessica saat tinggal di Sydney, Australia sepanjang tahun terakhir sebelum tewasnya Mirna di Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica bahkan dipecat dari tempatnya bekerja karena perilakunya yang dianggap buruk.
2. Perilaku Jessica yang dianggap tak wajar oleh beberapa orang sebelum dan sesaat setelah Mirna meminum kopi yang disebut beracun itu. Jessica datang terlalu awal dan diduga menyiapkan beberapa hal untuk meracuni kopi yang akan diminum Mirna. Jessica kemudian tidak nampak tergerak membantu Mirna atau tidak menunjukkan empathy-nya. Jessica bahkan yang pertama menyebut: kopinya bermasalah.
Jessica menurut beberapa orang yang mengenalnya, misalnya bossnya, Christy Carter (baca di sini) menyebut beberapa kali melakukan perbuatan yang bisa menjadi latar belakang atau perbuatannya diyakini bisa mengarah menjadi pelaku kekerasan atau pembunuhan.
Jessica disebut begini (simak di sini dan di sini):
1. Perilakunya mengganggu orang di sekelilingnya.
2. Beberapa kali mengancam orang lain, termasuk mengeluarkan ancaman pembunuhan.
3. Emosinya tidak stabil yang menunjukkan kesehatan mental yang buruk.
Apakah Jessica Memiliki Motive untuk Membunuh Mirna?Â
Ada pendapat di hukum pidana yang menyebut untuk memutus Jessica bersalah tidak diperlukan adanya motive. Misalnya apakah Jessica memiliki suatu dendam pada Mirna, itu menjadi tidak penting, karena Jessica memiliki latar belakang yang sudah disebut sebelumnya.
Namun ada yang menarik, menurut Ronny Rasman Nitibaskara, seorang ahli kriminologi (baca di sini), Jessica tidak memenuhi syarat untuk disebut psychopath berdasarkan Hare Psychopath Checklist, namun Jessica memiliki beberapa ciri dari checklist itu, yaitu: impulsive, kurang punya empathy, agresif, mudah meledak marah, narcissistic personality (baca di sini). Itu sudah cukup untuk memicu seseorang untuk melakukan pembunuhan.
Jadi intinya, menurut sains, Jessica memang mampu membunuh, namun pengadilan tidak mendapatkan bukti langsung Jessica telah membunuh Mirna. Karena itu tidak sedikit orang yang berkeras, Jessica tidak bersalah. Apalagi di setiap peristiwa "besar" yang menarik perhatian masyarakat, akan lebih mudah ditemukan beberapa kejanggalan. konspirasi
Dalam kasus Jessica, ini beberapa kejanggalan yang mengemuka antara lain adalah:
1. Cara polisi menanangani kasus ini yang dianggap amburadul.
2. Jalannya proses pengadilan yang diwarnai beberapa kejanggalan.
Nampaknya itulah yang dimanfaatkan oleh berbagai media dan mereka yang bergerak di bidang hukum untuk mendapatkan perhatian masyarakat, atau viewers, sekaligus cuan.
Penutup
Setidaknya ada 5 points yang bisa dijadikan pelajaran penting dari kasus Jessica ini:
1. Jessica memiliki latar belakang perilaku atau personality yang memadai untuk disangka membunuh.
2. Di setiap peristiwa "besar" lebih mudah menemukan kejanggalan.
3. Putusan hakim yang memutus perkara Jessica telah dikuatkan oleh putusan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu: i. Banding, ii. Kasasi.
4. Peran media dan mereka yang bergerak di bidang hukum untuk menarik perhatian masyarakat.
5. Peran medsos dalam menyebarkan misinformation & disinformation 6 kali lebih cepat daripada informasi valid atau yang terkonfirmasi.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.