Emotional Intelligence adalah sebuah judul buku yang sangat terkenal di dunia yang ditulis oleh Daniel Goleman di tahun 1995.Â
Isinya tentang sains seputar emotions (sengaja kata ini (emotions) saya tulis dalam bahasa Inggris agar artinya tidak menyimpang) dan bagaimana memahami emotions agar bisa memberi benefit yang besar dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Buku itu bukan hanya untuk mengasah kemampuan kita dalam mengenali emotions orang lain, menyadari emotions yang kita miliki (mengelola emotions), namun buku itu juga menunjukkan bagaimana kegagalan dalam mengelola emotions bisa berujung pada berbagai kegagalan dalam berbagai aspek kehidupan seperti berikut:
1. Berinteraksi secara normal dengan orang lain,Â
2. Menurunkan tingkat stres,Â
3. Menjaga kesehatan mental,
4. Memperbaiki kemampuan kognitif (kecerdasan secara umum),
5. Memperbaiki tingkat produktivitas atau prestasi,
6. Menjalani hidup yang berkualitas.
Dalam beberapa artikel saya sebelumnya (klik di sini) sudah dijelaskan tentang bagaimana emotions dikelola, yaitu karena adanya peran prefrontal cortex yang berinteraksi dengan bagian lain di otak, seperti amygdala, hippocampus, atau hypothalamus.Â
Gangguan pada interaksi ini atau gangguan pada beberapa bagian tertentu di otak ini  bisa menyebabkan gangguan dalam pengelolaan emotions. Apa yang menyebabkan gangguan itu dijelaskan melalui berbagai riset. Misalnya gangguan itu memang ada sejak lahir, dan ada juga karena pengaruh lingkungan atau parenting.Â
Bahkan sudah ada beberapa riset baru yang menemukan kaitan erat mind-wandering dengan gangguan dalam kemampuan mengelola emotions. Tentu temuan dari riset yang masih baru ini masih belum populer untuk menjadi topik bahasan. Mungkin nanti akan saya tulis dalam artikel berikutnya.
Ketidakmampuan dalam mengelola emotions itu bisa menghasilkan kegagalan dalam 6 aspek kehidupan seperti ditunjukan di daftar di atas.
Kemampuan memelihara interaksi antar bagian di otak itu (terutama amygdala & prefrontal cortex) akan menghasilkan apa yang sering disebut neuroscience sebagai berfungsinya otak secara maksimal.Â
Jika prefrontal cortex (yang memiliki executive function) menjadi dominan di otak, maka apapun yang diproduksi oleh amygdala (terutama yang negative emotions (seperti takut, marah, cemas, agresi, dll.) akan diproses lebih dahulu di prefrontal cortex. Sehingga signal apapun yang dikirimkan amygdala ke prefrontal cortex & hypothalamus untuk menyiapkan tubuh dalam merespon sebuah situasi akan dikendalikan oleh prefrontal cortex.Â
Namun jika interaksi itu terganggu, maka prefrontal cortex akan kurang/tidak bekerja untuk membuat pertimbangan yang sehat, mengatur salah-benar (moralitas), mencari solusi, dll yang khas manusia berakal. Jika kerja prefrontal cortex itu terganggu, maka hanya amygdala yang bekerja, padahal jika sendirian amygdala hanya akan menghasilkan fight or flight saja (bertempur atau kabur saja). Itu khas reptil atau hewan yang bagian prefrontal cortex-nya belum berkembang sempurna.
Kondisi di otak yang seperti itu disebut juga sebagai otak yang tidak berfungsi maksimal. Kondisi itu juga disebut dengan sebutan tidak sehat secara mental, karena perilakunya tidak sesuai dengan norma yang berlaku atau aturan yang berlaku atau sudah disepakati. Ciri fungsi otak yang tidak maksimal itu terlihat secara ekstrim pada otak psychopath atau sociopath.Â
Mereka memiliki kesulitan memahami salah dan benar yang akibatnya mereka cenderung melakukan pelanggaran hukum. Mereka memiliki kesulitan menyadari atau mengenali emotions orang lain, terutama yang negatif, sehingga orang seperti ini disebut tidak memiliki empathy yang artinya  ia bisa kejam sekali dalam memperlakukan orang lain.
Meski disebut otaknya tidak berfungsi maksimal, namun sociopath sering terlihat seperti orang normal, bahkan banyak yang memiliki prestasi dalam hidupnya, karena otaknya bukan tidak bisa berfungsi maksimal, namun hanya kurang berfungsi maksimal dalam kondisi tertentu.Â
Dalam beberapa riset, ditemukan bahwa ada sociopath yang ternyata sangat mengejar kekuasaan atau posisi strategis, atau juga kekayaan yang banyak agar bisa mendominasi orang-orang di sekitarnya.Â
Di riset itu juga ditemukan, bahwa mereka para sociopath itu mudah sekali jatuh terjerembab ketika sudah berada di tempat yang tinggi. Pencapaian yang tinggi itu diperoleh, karena mampu (tega) menghalalkan segala cara yang orang normal tidak mampu melakukannya.
Contoh Kegagalan dalam Mengelola Emotions
Sebuah video di YouTube ini (klik di sini) adalah potongan pendek dari dialog yang terjadi di ruang pengadilan. Video versi panjangnya jauh lebih lengkap sebagai bahan penting untuk dibahas oleh para peminat kajian AntiSocial Personality Disorder.
Video ini menggambarkan persoalan kegagalan pengelolaan emotions dari Mario Dandy yang masih sangat muda, yaitu 20 tahun. Menurut neuroscience, prefrontal cortex baru akan berkembang sempurna di usia 25 tahun.
Perhatikan apa yang disampaikan Mario Dandy yang terlihat amat fokus pada:
1. Alasan yang dikemukakannya untuk melakukan kekerasan dan percobaan pembunuhan pada korbannya (Mario terlihat meyakini alasan itu adalah bagus, benar atau pamungkas, bahkan ia terlihat sedikit memaksa Hakim untuk ikut meyakininya).
2. Adanya ketidakmampuan dalam melihat/menyadari adanya penderitaan orang lain (Mario bilang ia tidak kasihan pada korban, sehingga itu menunjukkan, bahwa ia tidak memiliki empathy atau kemampuan menyadari adanya emotions orang lain terutama yang negatif, seperti menderita, sedih, takut, dll.)
Orang normal tidak menggunakan alasan aneh atau gila yang dimiliki Mario untuk melakukan kekejaman yang mengerikan itu pada korbannya. Bahkan saat ditanya-tanya oleh Hakim, Mario malah menegaskan ia tidak merasa kasihan pada korbannya.
Apa yang diungkapkan di ruang pengadilan menunjukkan, bahwa ia memiliki ciri utama dari psychopath. Hanya psychopath yang meyakini alasannya bagus untuk melakukan kekerasan, hingga melakukan percobaan pembunuhan pada korbannya.
Mario bukan satu-satunya orang yang di ruang pengadilan membongkar sendiri ciri utama psychopath-nya. Perhatikan juga alasan Sambo di kasus yang berbeda untuk membunuh Joshua. Alasan yang diberikan Sambo di pengadilan tidak akan mungkin dimiliki oleh orang normal.
Penutup
Kemampuan untuk mengelola emotions tentu saja bisa diajarkan sejak dini atau kepada anak-anak, namun dibutuhkan artikel yang lebih panjang untuk membahasnya.Â
Saran saya bagi para orangtua adalah mulailah mempelajari tentang peran amygdala dan bagian lain dari otak yang berkaitan dengan pengelolaan emotions. Â Namun yang lebih penting lagi adalah pelajari apa yang sudah ditemukan oleh sains sejak 3 dekade terakhir ini, yaitu tentang bagaimana meditasi ternyata mampu membuat interaksi antar bagian di otak bisa menjadi lebih maksimal, sehingga amygdala bisa dijaga agar tidak membajak keseluruhan fungsi otak.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H