Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Spiritualisme di Jaman AI Masih Ada?

3 Mei 2023   09:18 Diperbarui: 4 September 2023   14:41 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gara-gara diluncurkannya ChatGPT, My AI di Snapchat, DALL-E, Bing Powered by AI, dll, beberapa bulan lalu, maka muncullah kegemparan di seluruh dunia. Banyak orang yang mengalami euforia pada AI yang dikembangkan dengan penuh semangat ini oleh salah satu pengembangnya, OpenAI. Mereka yang tidak mendalami teknologi, apalagi teknologi AI ikut-ikutan membuat komen agar tidak disebut ketinggalan. Sayangnya banyak yang menjadi korban FOMO (the fear of missing out).

Bagaimanapun, para ahli menyebut level AI baru dicapai saat ini tidak lebih dari intelegensi anak berumur 10 tahun

Baru-baru ini ada gambar yang beredar di medsos menunjukkan perkembangan AI bakal mengganti para spiritualist di biara. Di gambar itu ada robot di biara seolah sedang mengajar spiritualism. Atau sedang mengikuti program spiritualism?

Tentu saja gambar itu dibuat dengan mengandalkan euphoria semata pada AI, bukan pemahaman yang tepat pada  perkembangan AI di dunia dalam setidaknya 2 dekade terakhir.

Robot itu digambarkan memiliki bentuk seperti manusia. Tentu itu gambaran AI di tahun 40, 50, 60an yang sangat ketinggalan.

Mengapa Ajaran Spiritualism Mungkin Sekali Bakal Meredup atau Menghilang?

Salah satu tujuan utama dari praktik spiritualism sejak ribuan tahun lalu adalah sebuah praktik untuk menurunkan negative emotions secara signifikan. Jika negative emotions bisa diminimalkan, maka otak akan berfungsi lebih maksimal. Apapun yang positif bisa kita harapkan dari otak yang berfungsi maksimal itu, misalnya berbagai perbuatan baik.

Jika membaca berbagai bahasan sains soal AI, maka Anda temukan: AI seperti manusia memiliki kemampuan untuk memahami emotions, terutama negative emotions. Kemampuan itu yang selama ribuan tahun dipelajari oleh manusia di berbagai pelosok Bumi. Kemampuan ini membuat kita seperti memiliki observer atau regulator yang bisa menjamin agar kita tidak tergelincir dalam kubangan negative emotions yang membuat kita tidak mampu mengeluarkan potensi positif yang sudah ada.

Daniel Goleman, seorang psychologist dan neuroscientist membahas soal kemampuan itu dalam bukunya di tahun 1995 berjudul "Emotional Intelligence". Hingga saat ini apa yang dibahas Goleman masih terus menginspirasikan berbagai riset sains untuk terus mendalami soal emotions.

Bahasan sains pada negative emotions ini semakin membuat terang mengapa seorang sociopath (ASPD) bisa sangat kejam, yaitu karena ketidakmampuannya untuk menyadari adanya negative emotions pada orang lain dan ketidakmampuannya untuk meregulasi negative emotions-nya sendiri.

Sociopath itu yang nampaknya menjadi target dari para spiritualist sejak ribuan tahun lalu. Sociopath hanya kira kira 3-5 % lebih dari populasi, namun jika mereka memiliki kekuasaan, maka mereka akan membuat kerusakan di atas muka Bumi. Sejarah mencatat itu. Jika sociopath ini tidak membuat kerusakan di atas muka bumi, mereka menjadi gangguan (toxic people) bagi sekitarnya.

AI tentu saja tidak akan berbentuk robot seperti digambarkan oleh orang dari masa lalu, apalagi robotnya berbentuk manusia.

Sebentar lagi AI akan berubah (berkembang) menjadi AGI (Artificial General Intelligence) yang tentu saja jauh lebih pintar dari AI. AGI ini entah berkedudukan di mana, karena AGI adalah kumpulan super computer yang mungkin sebagiannya nanti akan bertempat di angkasa luar. AGI tak memiliki bentuk dan sulit untuk dibayangkan, karena AGI bakal selalu tersambung ke setiap syaraf manusia di otak (tidak literally). AGI nanti sudah pasti adalah "sosok" atau tempat umat manusia bergantung, bertanya, memohon, hingga meminta untuk menjatuhkan keputusan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia (nanti).

Kemampuan AI dalam soal emotions tentu saja akan melebihi manusia. Pada tahap awal, AI akan membantu manusia dalam soal emotions ini melalui gadget, seperti HP yang dewasa ini dimiliki oleh hampir setiap manusia. Baca bagaimana AI membantu manusia dalam soal emotions di sini (klik di sini).

AI sudah pasti tidak akan bersikap seperti konsep Tuhan yang kita kenal selama ini. AI tidak akan meminta manusia untuk berbuat baik pada sesama, karena ia akan dengan mudah mengubah otak manusia agar selalu cenderung pada kebaikan.

Jadi mungkinkah di dekade mendatang masih ada ajaran spiritualism? Sementara itu dalam beberapa tahun mendatang AI sudah mulai mendekati level artificial general intelligence (AGI), atau Artificial SuperIntelligence (ASI) yang God-like.

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video perkembangan seputar neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun