Kemampuan mengenali emosi orang lain melalui mimik muka, gerakan alis mata, juga intonasi suara, bahasa tubuh, hingga pilihan kata, atau konteks kalimat, dll. tentu bisa diterapkan ke machine atau artificial intelligence.
AI yang dibuat bisa mengenali emosi ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, terutama bagi para psikopat yang masih di masa perkembangan sebelum usia dewasa, agar ia tidak terus terjebak dalam psychopathy-nya yang bisa menurunkan kualitas hidupnya dan merugikan orang lain.
Tidak hanya sekedar mengenali emosi orang lain, tetapi AI juga akan dibuat untuk memberikan saran pada penggunanya untuk melakukan sesuatu yang positif pada orang lain. Aplikasi ini tentu nanti bisa disematkan pada HP yang melekat pada kita sehari-hari.
Aplikasi seperti ini berguna bukan hanya untuk psikopat saja, tetapi juga untuk masyarakat umum yang ingin mengembangkan emotional intelligence-nya sebagai konsep yang sudah populer beberapa dekade terakir yang dikembangkan oleh Daniel Goleman seperti disebut di atas.
Penerapan Affective AI (AI yang mengenal emosi) atau Emotion AI tentu bakal menjadi booming tidak terlalu lama lagi (lihat di sini).Â
Affective AI bakal menguntungkan para pemasang iklan, karena bisa mendapatkan masukan yang penting saat beriklan.Â
Sebuah iklan akan bisa mendeteksi emosi dari target (melalui facial expressions,misalnya), sehingga bisa menentukan langkah selanjutnya, seperti mengarahkan untuk transaksi, atau mengarahkan ke item atau produk lainnya.Â
Bahkan juga pemasang iklan akan mampu memanipulasi emosi target agar di arahkan untuk menyukai satu produk tertentu. Tentu saja ini juga bakal berguna bagi opinion maker, politisi, bahkan juga dictatorship jenis baru.
Lalu kita patut bertanya: apakah masih ada free will? Pertanyaan selanjutnya: useless class itu nampaknya memang nyata, seperti yang diingatkan oleh Harari.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan