Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skandal Duren Tiga & The Social Media

17 Agustus 2022   12:20 Diperbarui: 28 Agustus 2023   14:09 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Frances Haugen (httpswww.technologyreview.com)

Ada yang pernah nonton "The Social Dilema" di Netflix?

"The Social Dilema" adalah sebuah video documentary yang isinya pembahasan yang disampaikan oleh beberapa praktisi dan ahli media social soal pengaruh social media (medsos) pada berbagai aspek kehidupan. Sebagaimana kita tahu medsos baru berusia 2 dekade lebih. Sudah banyak riset sains yang mencoba mengukur dampaknya pada banyak aspek kehidupan kita. Ternyata menurut mereka yang berbicara dalam "The Social Dilema", dampaknya amat mengerikan, bahkan disebut bisa memicu perang nuklir, atau perang dunia ketiga,karena dipicu oleh medsos. 

Dampak lainnya dari medsos dan cukup serius di kehidupan sehari-hari adalah menurunnya kesehatan mental, dan produktivitas dari pengguna medsos.

Sudah sebulan ini Indonesia gonjang-ganjing oleh Skandal Duren Tiga. Berbagai hoax, gosip, desas-desus, fitnah, omong-kosong, kisah perselingkuhan, sex, orientasi seksual telah dilemparkan oleh banyak orang di medsos, bahkan oleh mereka yang sebenarnya awam. Gaya mereka seolah sedang menganalisa, padahal tidak berdasar pada data atau informasi yang tervalidasi, tapi hanya berdasar pada gosip, desas-desus atau yang semacam itu yang juga bersumber dari medsos yang sebenarnya tidak jelas sumbernya. Topik seperti itu tentu saja mendatangkan likes atau viewers yang tinggi, meski sebenarnya isinya hanya menebar omong-kosong semata.

Dalam beberapa tulisan saya sebelumnya (lihat di sini), medsos disebut oleh para ahli mengeskalasi kubu-kubuan atau polarisasi di masyarakat. Artinya juga begini: medsos membuat masyarakat bisa berbeda pandangan dengan sangat jauh sekali atau ekstrim, termasuk dalam kasus Skandal Duren Tiga. Jika seorang penulis (juga termasuk penulis script video atau video wawancara) di medsos ini menyukai topik selangkangan, maka ia akan menulis dengan sangat ekstrim soal itu, tanpa didasari pada data yang valid atau terkonfirmasi. Pembacanya tentu saja mereka yang sudah terlanjur menjadi fans berat penulis itu, akan tidak bersikap kritis sama sekali dalam menilai tulisan itu. Tulisan model begini bisa disukai hingga ratusan ribu orang hanya dalam 1 hari saja.

Lalu apa yang dilakukan para pengelola platform medsos (Facebook, WhatsApp, Twitter, TikTok, Instagram, Youtube, dll) dengan konten beracun seperti itu? Seperti sudah saya tulis di artikel sebelumnya, termasuk artikel yang ini (klik di sini), pengelola medsos akan membiarkan konten seperti itu, karena pengguna medsos menurut riset lebih tertarik dengan konten negatif daripada konten positif. Ketertarikan pada konten negatif ini akan meningkatkan aktivitas di medsos. Semakin banyak yang berinteraksi di medsos (memberi likes, emoticon, comment, share, atau postingan baru, dll), maka semakin pengelola platform medsos mendapat keuntungan finansial, karena meningkatnya pendapatan dari para pemasang iklan.

Survei Global Web Index menemukan, bahwa setiap hari rata-rata pengguna medsos menghabiskan waktunya sebanyak total 2.5 jam sehari. Pengguna yang ekstrim bisa lebih dari 6 jam sehari. Kecanduan itu memang sengaja diciptakan oleh para pengelola platform medsos. Kecanduan itu sudah diungkap, misalnya oleh Frances Haugen yang pernah bekerja di Facebook, sebagai product manager, namun lalu hengkang (baca artikel mengenai itu di sini).

Mungkin sekali dalam 1 bulan terakhir ini, gara-gara Skandal Duren Tiga, pengguna medsos di Indonesia menghabiskan waktu di medsos hingga 6 jam sehari. Itu tentu saja menguntungkan para pengelola platform medsos (Facebook, WhatsApp, Twitter, TikTok, Instagram, Youtube, dll), namun merugikan pengguna medsos, karena menurunnya kesehatan mental (stres atau depresi), hingga menurunnya produktivitas.

Jika kita simak apa yang disampaikan Tristan Harris yang menjadi satu tokoh sentral dalam documentary itu (The Social Dilemma), berbagai platform medsos mengeskalasi 3 hal berikut ini (karena sengaja tidak dicegah):

1. Disinformation dan misinformation (disinformation & misinformation adalah 2 hal yang berbeda), conspiration theory, hoax, gosip, desas-desus, dll.
2. Beredarnya ujaran kebencian atau agresi, hingga terorisme.
3. Membiarkan konten narcissism berkembang, terutama dari mereka yang memiliki pengaruh (populer) di masyarakat, terutama politisi yang sering bertingkah seolah memiliki semua privilege atau berkuasa atau pintar pada banyak hal.

Lebih dalam mengenai kasus Facebook yang sengaja tidak mencegah hal-hal tersebut di atas silakan simak laporan lengkap mengenai apa yang disampaikan oleh Frances Haugen (mantan produk manager di Facebook) di sini (klik di sini).

Penutup

Kita hidup di jaman Industrial Revolution 4.0. Sekarang ini kita bukan mengkonsumsi apa yang disediakan oleh medsos. Kita justru dikonsumsi oleh medsos. Pengguna medsos adalah komoditi yang dijual oleh pengelola medsos ke para pemasang iklan. Ini dibahas mendalam di "The Social Media". Jadi sila menyimak documentary itu.

Skandal Duren Tiga nampaknya bisa dijadikan studi kasus tentang apa yang akan terjadi di tahun politik 2024 nanti. Waktu bangsa ini akan dihabiskan di medsos selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, karena aktivitas pemilu dimulai sejak 2 tahun sebelum dimulai. Aktivitas itu masih akan terus berjalan, meski pilpres atau pemilu sudah selesai.

Nampaknya tahun politik 2024 adalah tahun yang akan mengeluarkan terlalu banyak ongkos bagi bangsa ini, karena tahun ini akan merampas kesehatan mental dan merampas produktivitas bangsa ini. Padahal apa yang akan dihasilkan oleh tahun politik 2024? Para pemimpin baru yang lebih sehat secara mental? Apakah mungkin kita bisa memperoleh pemimpin yang sehat secara mental, jika topik kesehatan mental bukan topik yang populer di negeri ini?

M. Jojo Rahardjo

Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun