Berbagai pernyaataannya dalam tahun-tahun terakhir ini jelas menunjukkan keberpihakannya pada pluralisme atau kemanusiaan. Itu sangat penting saat politik Indonesia semakin condong ke politisasi agama yang merusak berbagai aspek kehidupan.
Prestasi, pencapaian, konsep, terutama kemanusiaan tidak lagi dikompetisikan dalam pilpres & pilkada. Tentu itu memudahkan tim sukses. Semakin "gila" tim sukses semakin besar peluangnya untuk menang. Masabodo dengan masyarakat yang terpecah-belah atau terjerumus dalam jurang perang saudara.
Lalu terngiang kata-kata Buya Prof. Dr. K.H. Ahmad Syafii Maarif yang kira-kira begini: "Orang baik jangan diam, karena orang jahat akan semakin merajalela".
Kata-kata Buya itu amat tepat dengan situasi sekarang, saat media sosial dikritisi oleh para pendirinya sendiri, karena membahayakan kemanusiaan. Bahkan kritik itu sudah menjadi gerakan dunia untuk mewaspadai dampak buruk dari media sosial yang telah mengakselerasi: perpecahan atau polarisasi politik yang semakin melebar, semakin tersebarnya ajaran kekerasan, ajaran kebencian, bahkan terorisme.
Dunia politik Indonesia tentu saja tidak terkecuali ikut dirusak oleh munculnya media sosial. Kita semua melihat sendiri semua itu sejak pilpres 2014 dan 2019, juga pilkada Jakarta 2017. Perpecahan dan polarisasi politik tidak berhenti setelah pilpres atau pilkada selesai, malah terus meruncing berkat media sosial.
Selamat jalan Buya, kita semua tentu merasa kehilangan.
M. Jojo Rahardjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H