Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

IQ Orang Indonesia Cuma 87? (Kalah dengan Gorilla?)

12 Agustus 2021   15:44 Diperbarui: 27 Oktober 2023   05:32 4843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOKO THE GORILLA & BRAIN PLASTICITY

Belum lama ini medsos ramai memperbincangkan sebuah konten dari sebuah video tentang angka-angka IQ di antara beberapa negara. Indonesia menurut data yang tersedia ternyata hanya 87 (rata-rata) kalah dengan beberapa negara Asia lainnya.

Kebanyakan orang memperdebatkan apa penyebab angka IQ orang Indonesia begitu rendah? Yang lain memperdebatkan apakah angka itu membuat Indonesia susah menjadi negara maju? Apakah angka itu menjawab mengapa medsos diramaikan oleh konten dan komen yang tak berkualitas, bahkan cenderung hanya maki-makian.

Video itu kurang lengkap menyajikan data lain yang tak kalah penting, yaitu tentang validitas tes IQ yang sudah berusia 100 tahun itu. Apakah masih relevan atau masih valid di zaman digital ini? Ternyata sudah banyak para ahli yang tidak lagi menggunakan tes IQ itu untuk menjadi patokan dalam menganalisa perilaku, kemampuan memberi solusi, produktivitas, kreativitas, inovasi, altruism, hingga kesehatan mental.

Pada awalnya tes IQ dibuat untuk mengukur usia mental seorang anak. Pembuat tes IQ, sekitar 100 tahun lalu, Alfred Binet sudah menyadarinya ketika dia mengembangkan tes tersebut. Sebagaimana kita ketahui, banyak yang dinyatakan memiliki IQ tinggi di masa kanak-kanaknya, namun setelah dewasa ternyata tak menunjukkan kecerdasan yang berarti, termasuk prestasi atau produktivitas dan lain-lain.

Binet ketika itu sudah menekankan bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep luas yang tidak bisa ditentukan dengan angka tertentu.

Tony Florio, seorang psikolog klinis yang mengkhususkan diri pada masalah IQ mengatakan, bahwa sekarang ini otak kita kurang digunakan, karena kita tidak perlu lagi mengingat pengetahuan umum yang bisa kita dapatkan dari mesin pencari seperti Google. Kita juga bahkan sejak lama sudah tak menggunakan otak kita dalam berhitung, karena mengandalkan kalkulator untuk menghitung angka-angka.

Karena itu, tes IQ yang ada harus diubah untuk bisa mengukur "kecerdasan" (dalam tanda kutip, karena harus didefinisikan lagi dengan hati-hati).

Ini yang perlu diingat oleh banyak orang:

Menurut serangkaian riset sains, otak sebenarnya sangat plastis, artinya mampu berkembang menjadi lebih baik di usia berapa pun. Istilah yang sering digunakan adalah brain plasticity. Sayangnya tak banyak yang tahu bagaimana caranya, meski berbagai riset sains sudah menyediakan caranya.

Untuk memberi ilustrasi tentang brain plasticity, maka kita perlu mengamati seekor gorilla bernama Koko yang lahir di sebuah kebun binatang di San Francisco. Koko the gorilla terkenal karena disebut mengerti bahasa manusia dan mampu berkomunikasi dengan 1000 lebih isyarat tangan kepada manusia. Koko sudah diteliti dan disebut memiliki IQ 95.

Perlu diketahui, bahwa ada perbedaan terbesar antara otak manusia dan primata, yaitu berada di prefrontal cortexnya (memiliki executive function). Bagian itu pada manusia sudah berkembang lebih jauh. Tidak hanya itu saja,  keterhubungan antar neurons di otak manusia jauh lebih tinggi (bukan sekedar jumlah neurons).

Brain plasticity terlihat pada Koko the Gorilla, meski kualitas otak primata di bawah otak manusia. Saat Koko lahir di sebuah kebun binatang, maka ia memiliki kesempatan untuk mengembangkan brain plasticity-nya dibanding di hutan, tempat habitat alaminya. Di kebun binatang, Koko diajarkan banyak hal, seperti bahasa dan lain-lain. Itu membuat otak Koko mengembang menjadi lebih baik. Itu menjelaskan pada kita mengapa kadang kita menemukan kisah-kisah hewan peliharaan yang menunjukkan emosi seperti manusia dan kecerdasan tinggi yang sebelumnya tak pernah terlihat. Itu semua karena peran manusia yang berada di sekitar hewan peliharaan itu. Manusia punya pengaruh dalam mengembangkan brain plasticity hewan peliharaan itu.

Jadi, jangan lupa soal brain plasticity itu. Kita memiliki potensi untuk memiliki otak yang lebih cerdas setiap waktu. Pelajari cara untuk mengembangkan itu, dan tentu kita harus hindari semua kegiatan yang mampu menurunkan brain plasticity itu.

M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video, seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun