Kita sedang berada di masa pandemi yang gawat. Sebagaimana yang sudah disebut banyak riset sains, di masa pandemi ini muncul gelombang gangguan kesehatan mental (stres) di seluruh dunia. Apa sebabnya? Ada banyak. Salah satunya menurunnya kualitas dan kuantitas interaksi antar sesama manusia. Kehilangan orang yang dicintai atau dikenal dekat. Kecemasan. Kehilangan pekerjaan atau penghasilan, menurunnya kualitas hidup, "terkurung" di rumah, dan lain-lain.
Padahal gangguan kesehatan mental (stres) ini harus diatasi dengan tepat, karena punya pengaruh yang besar pada immune system kita yang paling kita butuhkan untuk melawan virus corona. Stress juga punya pengaruh pada produktivitas kita, serta kecerdasan, kreativitas, inovasi, hingga kecenderungan pada altruism (kebajikan), dan spiritualism.
Di masa pandemi ini, kadang atau malah sering kita mendengar orang berkata:
1. Rasa gembira saya adalah obat.
2. Saya orangnya 'pasrah aja'.
3. Kayak saya dong, jangan stres, takut, cemas, atau paranoid.
4. Saya orang beriman, maka saya lebih tahan stres.
Tapi lihat; apakah hidup orang yang mengatakan itu menggambarkan apa yang dikatakannya?
Kita melihat di masa pandemi ini ada banyak orang yang yang malah terlihat larut dalam kecanduan pada aktivitas yang tidak mendukung kesehatan mental.
Banyak yang terlihat menyenang-nyenangkan diri dengan aktivitas yang tidak perlu dilakukan: merokok, minum alkohol, main game hingga berlarut-larut, menonton berita secara berlebihan, menonton tv secara berlebihan, beraktivitas di media sosial secara berlebihan, bergosip berlebihan, bahkan tidur berlebihan, dan lain-lain.