Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Kalah dengan Rasa Cemas!

30 November 2020   12:05 Diperbarui: 20 Desember 2020   14:54 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa cemas itu membuat kita tetap hidup, karena rasa cemas bisa membuat kita waspada pada bahaya di sekitar kita. Namun kita hidup di zaman yang lika-liku kehidupan sudah demikian kompleks, tidak lagi seperti sedang berburu di sebuah hutan atau padang belantara yang di dalamnya ada binatang buas yang siap menerkam.

Mereka yang sedang bekerja di perusahaan atau organisasi bisa saja merasa cemas ide orisinalnya dicuri teman di kantor.

Mereka yang sedang belajar di sekolah atau perguruan tinggi bisa saja merasa cemas tidak bisa berprestasi seperti yang diharapkan keluarganya.

Mereka yang hidup di Indonesia mungkin sekali dihantui rasa cemas yang tak berkesudahan, karena melihat kaum radikal terus dibiarkan pemerintah untuk berkampanye menyebarkan kebencian, kekerasan atau pembunuhan.

Dan lain-lain.

Rasa cemas seperti yang sudah disebut di atas adalah wajar dan dibutuhkan. Saat kita cemas, ada hormon cortisol yang terlalu banyak di otak. Tentu itu tidak baik, jika dibiarkan terlalu lama, karena akan merusak fungsi otak. Kecerdasan akan menurun, kemampuan membuat solusi menurun, kreativitas dan inovasi juga menurun, bahkan kesehatan tubuh juga menurun. Tidak ketinggalan yang juga menurun adalah kecenderungan pada altruism (kebajikan).

Jika persoalan kita misalnya memang ada orang di kantor yang siap mencuri ide orisinal kita dan kita belum tahu bagaimana mencegahnya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Jika kita diam saja, maka cortisol yang terlalu banyak akan terlalu lama berada di otak.

Jika persoalan kita misalnya memang kita tidak bisa berprestasi bagus di sekolah atau di perguruan tinggi. Lalu kita tidak tahu bagaimana memperbaikinya, meski sudah belajar sekuat tenaga. Lalu kita tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, padahal kita semakin cemas dan cortisol semakin banyak dan terlalu lama berada di otak?

Jika persoalan kita misalnya memang tidak merasa aman karena melihat kaum radikal terus tumbuh membesar di Indonesia. Lalu kita sudah tidak tahu lagi bagaimana cara mendorong pemerintah agar bertindak tegas dan tepat, padahal saat semakin cemas itu cortisol semakin banyak dan terlalu lama berada di otak.

Untung saja ada riset neuroscience tentang itu. Cortisol yang terlalu banyak bisa diturunkan hanya dengan melakukan beberapa kegiatan yang sebenarnya sudah biasa kita lakukan, karena diajarkan oleh banyak agama. Apa itu?

Meditasi atau berdoa disebut dalam berbagai riset paling signifikan dalam menurunkan kadar cortisol di otak. Meditasi di sini tentu meditasi sekuler yang sudah dirumuskan oleh para neuroscientists. Dan berdoa di sini tentu bukan isi dari apa yang kita panjatkan kepada Yang Maha Kuasa, tetapi sikap kita yang percaya bahwa Yang Maha Kuasa ada di atas sana siap untuk membantu upaya kita keluar dari persoalan hidup kita.

Lalu yang juga signifikan disebut dalam berbagai riset dalam menurunkan cortisol di otak adalah bersyukur. Sekali lagi bersyukur di sini adalah bersyukur yang sudah didefinisikan oleh para neurosientists, yaitu menulis jurnal positif. Riset menunjukkan bahwa kita cenderung untuk menyadari apa yang negatif pada diri kita atau di sekitar kita, padahal itu tidak menguntungkan bagi fungsi otak kita. Nah, dengan menulis jurnal positif, kita dilatih untuk lebih mudah menyadari apa yang positif dalam diri kita atau sekitar kita.

Kegiatan lain yang bisa menurunkan cortisol di otak adalah olahraga. Di Page ini ada beberapa tulisan penting berdasarkan riset tentang bagaimana fungsi olahraga yang memicu keluarnya positive hormones di otak, seperti dophamine, endorphins, serotonin, dan oxytocin.

Masih banyak lagi kegiatan lain yang bisa kita lakukan untuk menurunkan cortisol di otak. Jika kita memiliki persoalan hidup seperti yang disebutkan di atas, maka yang pertama sekali harus kita lakukan adalah: 1. Meditasi (karena ini paling tinggi dalam memperbaiki fungsi otak), 2. Bersyukur, 3. Olahraga. Jika fungsi otak kita membaik karena melakukan beberapa kegiatan itu, maka kita berharap kita bisa memecahkan persoalan hidup kita dengan lebih lancar atau mudah.

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun