Neuroscience juga menguraikan, bahwa "positivity" adalah kata untuk menggantikan kata "kebahagiaan", "happiness", dan "wellbeing". Itu sebabnya Page Membangun Positivity menghindar untuk menggunakan kata "kebahagiaan", meski "posivity" adalah kata lain dari kata kebahagiaan, karena kata kebahagiaan memiliki arti yang sangat luas. Coba saja Googling kata 'kebahagiaan' itu, maka akan muncul definisi dari kata kebahagiaan menurut berbagai bidang, misalnya filsafat, agama, sosial, psikologi, kedokteran, politik, sains, dan lain-lain. Kata "positivity" digunakan untuk menggantikan kata "kebahagiaan" karena memiliki definisi yang lebih sempit atau khusus.
Dari definisi positivity itu, maka amat kecil kemungkinan mereka yang memiliki positivity yang besar bisa melakukan kekerasan, apalagi pembunuhan yang mengerikan. Lalu mengapa ada yang orang yang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan itu? Apakah fungsi otaknya sedemikian melenceng dalam berfungsi? Bagaimana penjelasan neuroscience untuk mereka yang otaknya tak berfungsi maksimal sehingga bisa melakukan kekerasan yang mengerikan itu?
Jawabannya seharusnya memang sederhana
Otak yang tak berfungsi maksimal memang tidak cenderung memiliki empathy yang lebih besar atau tidak memiliki perasaan oneness, juga tidak berpegang-teguh pada golden rule. Artinya mereka ini lebih memiliki pandangan eksklusif (mengenai dirinya atau kelompoknya). Mereka tidak cenderung merasa menjadi bagian dari apa pun di sekitarnya atau dari kelompok lain yang berbeda. Mereka ini menjadi sanggup berbuat kekerasan yang mengerikan pada orang lain atau kelompok lain. Itu artinya mereka tak punya empathy sehingga cenderung menghindar untuk berbuat baik pada orang lain atau kelompok lain yang berbeda. Orang seperti itu sebenarnya hanya menganut ideologi politik yang ditanam oleh para pemuka kelompoknya, namun orang seperti itu merasa dirinya beragama dan orang-orang lain pun mengira orang seperti itu beragama.
***
BAGAIMANA AGAMA BERPERAN MEMBANGUN POSITIVITY?
Ed Diener dan Robert Biswas-Diener melakukan riset pada agama-agama. Lalu mereka menemukan 6 elemen spiritual dalam agama yang bisa menumbuhkan kebahagiaan. Riset mereka itu ditulis dalam buku mereka berjudul "Happiness: Unlocking the Misteries of Phychological Wealth".
Ini 6 elemen spiritual itu:
- 1. Psychological Comfort yang ditimbulkan oleh ajaran tentang kematian atau kehidupan setelah mati. Misalnya apakah ada neraka yang membuat takut atau hanya ada sorga setelah kita mati. Juga soal apakah ada setan yang mengganggu atau hanya ada malaikat yang melindungi.
2. Social Support atau Social Activity yang disediakan oleh agama. Ini adalah salah satu alasan orang untuk beragama yang misalnya terlihat dengan datangnya orang secara teratur ke tempat ibadah atau pusat aktivitas agama atau juga mendorong orang untuk bertemu sesama pemeluk di tempat lain.
3. Memberi arti agung pada kehidupan ini.
4. Memberi anak-anak nilai-nilai yang akan melekat terus sepanjang hidup.
5. Memiliki ritual (ibadah) yang menarik. Tiap tempat atau budaya memiliki perbedaan dalam melihat apakah satu ibadah itu menarik.
6. Memberi Positive Emotions melalui ajaran cinta kasih, damai, kebajikan, golden rule, bersyukur, berterimakasih, memberi maaf, pengampunan, pengabdian, berdoa, meditasi, dan mengenai adanya sesuatu yang lebih besar di luar dirinya.
Kita perlu menyangsikan atau mempertanyakan jika ada yang mengklaim bahwa ajarannya adalah sebuah ajaran agama, namun tak mengandung 6 elemen spiritual di atas. Mungkin saja itu adalah sebuah doktrin politik yang diberikan atau dimanipulasi, atau dipelesetkan menjadi seolah ajaran agama.
Jika ajarannya tak berperan dalam membangun positivity, apa yang dibangun oleh ajaran itu? Tentu negativity di otak atau sebuah kondisi negatif di otak, yang kita tahu itu artinya otak yang lebih cenderung pada agresi, kekerasan, bahkan pembunuhan. Otak itu juga terus-menerus diliputi kecemasan yang menghasilkan berbagai kebencian pada orang lain, kelompok lain, ummat lain, atau bangsa lain, dan juga peradaban lain.
Negativity itu juga tergambar dari pencapaian atau prestasi yang mereka peroleh. Apakah negeri yang otak warganya dipenuhi negativity memiliki perekonomian yang baik? Apakah mereka mencapai tingkat teknologi atau sains yang maju? Apakah negerinya mendapat predikat negeri yang bahagia (World Happiness Report)? Apakah warga masyarakatnya kocar-kacir dicakar konflik yang tak berkesudahan?
Berkat riset neuroscience selama 3 dekade terakhir, kita sekarang bisa dengan mudah menemukan mengapa sebuah aksi kekerasan yang mengerikan bisa dilakukan oleh seseorang. Otak yang rusak atau otak yang tidak berfungsi maksimal bisa mendorong kecenderungan pada agresi atau aksi kekerasan yang mengerikan.