Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Positivity (Kebahagiaan) Penting untuk Indonesia

8 Agustus 2019   14:18 Diperbarui: 8 Agustus 2019   14:30 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak definisi kebahagiaan yang kita dapatkan dari Googling, mulai yang ringan, agamis, filosofis, hingga ilmiah. Kebanyakan orang mengartikan kebahagiaan sebagai kesenangan. Tentu itu tidak salah, sehingga orang yang beribadah bisa disebut bahagia jika dia merasakan kesenangan atau menyukainya. Atau ada yang menyebut kebahagiaan adalah jika bisa tinggal di pulau tropis.

Sekarang kebahagiaan juga didefinisikan oleh neuroscience (ilmu yang mempelajari tentang otak). Neuroscience mendefinisikan kebahagiaan seperti ini: keadaan positif di otak yang membuat otak berfungsi lebih maksimal.

Itu sebabnya kata kebahagiaan disebut dengan positivity. Kondisi otak yang positif ini juga membuat tubuh menjadi lebih sehat, tidak gampang mengalami stress atau depresi dan bahkan menumbuhkan kecenderungan pada kebajikan.

Mungkin kita beberapa kali sudah membaca artikel atau penelitian tentang otak manusia yang hanya digunakan sebesar 30% saja dari kemampuan yang sebenarnya. Artinya, jika kita tahu cara memaksimalkan kerja otak, maka mungkin kita  bisa mendapatkan pencapaian yang lebih tinggi dalam hidup. Bahkan kita dapat memperbaiki moral atau kecenderungan kita pada kebajikan.

Apakah itu artinya kita juga bisa memanfaatkan ilmu positivity untuk negeri ini? Misalnya untuk memecahkan persoalan besar bangsa ini, misalnya korupsi? Atau kita bisa lebih melesat maju daripada negeri-negeri lain di dunia?

Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh laporan PBB yang diterbitkan setiap tahun sejak 2012 lalu, yaitu World Happiness Report.

Setiap tahun World Happiness Report mengeluarkan daftar negara yang paling bahagia di dunia. Laporan ini dibuat oleh para ahli neuroscience atau positivity, seperti John F. Helliwell,  Richard Layard, Jeffrey D. Sachs, Haifang Huang,  Shun Wang dan lain-lain.

Ada 6 faktor yang diukur untuk menentukan kebahagiaan sebuah negeri, yaitu: 1. GDP per capita, 2. Social support, 3. Healthy life expentancy at birth, 4. Freedom to make life choices, 5. Generosity, 6. Perceptions of corruption.

Ada sejumlah penelitian yang menjelaskan bagaimana GDP per capita bisa menaikkan tingkat kebahagiaan warga ada di sebuah negeri. Apakah uang bisa membuat orang bahagia? Berapa besar penghasilan minimum untuk menaikkan tingkat kebahagiaan? Itu beberapa pertanyaan yang dicoba dijawab oleh sejumlah penelitian itu.

Penelitian seperti ini dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia. Beberapa penelitian ini menjelaskan mengapa uang (dalam jumlah tertentu) memiliki peranan dalam menaikkan tingkat kebahagiaan. Jadi uang memang bisa membeli kebahagiaan, jika tahu caranya.

Demikian juga mengenai faktor-faktor lain yang ikut menentukan sebuah negeri menjadi bahagia semua berdasarkan penelitian ilmu positivity sepanjang 2 decade terakhir ini di seluruh dunia.

Sepuluh teratas dalam daftar World Happiness Report adalah 5 negara Skandinavia, yaitu Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia dan Islandia. Bersama 5 negara ini ada Australia, Belanda, Canada, New Zealand, dan Swiss.

Di mana posisi Indonesia di tahun 2019 ini?

Peringkat Indonesia tidak bagus, yaitu di urutan 92, lebih buruk daripada tahun sebelumnya. Ini lebih buruk daripada negeri-negeri Asia lain, bahkan dari Thailand, Malaysia atau Philipina.

Bahkan Singapura yang sekecil itu mendapat peringkat 26. Cukup memprihatinkan Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, malah lebih buruk dari Pakistan yang relative tak punya sumber daya alam. Indonesia juga kalah dengan negeri-negeri Afrika atau Amerika Latin.

Semoga kita cepat mengaplikasikan ilmu positivity untuk melesatkan peringkat Indonesia di World Happiness Report.

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun