Gempa 6,9 SR baru saja melanda Banten (2/08/2019) dan juga mengguncang Jakarta. Orang-orang berlarian keluar rumah atau gedung. Kegemparan sekali lagi terjadi setelah gempa-gempa lain yang sebelumnya terjadi.
Gempa itu sekali lagi menyegarkan ingatan kita tentang peringatan adanya potensi gempa & tsunami besar dari Sunda Megathrust yang disampaikan oleh para ahli geologi dan pegiat kebencanaan di Indonesia. Peringatan ini sudah muncul dalam beberapa tahun belakangan ini. Peringatan ini juga bahkan sudah dinyatakan oleh Kepala BMKG dalam beberapa kesempatan di beberapa tahun terakhir ini.
Gempa ini juga mengingatkan kita, pada perhitungan dan peringatan dari ahli geologi dan pegiat kebencanaan tentang adanya potensi gempa besar di Sulawesi Tengah yang sudah muncul sebelum gempa besar melanda Sulteng di akhir September 2018 lalu. Jejak peringatan itu tersebar di berbagai media (silahkan Googling). Sayangnya peringatan itu kurang direspon semestinya dalam kerangka mitigasi bencana atau Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Padahal program mitigasi bisa mengurangi risiko dan angka kerugian saat akhirnya bencana gempa terjadi.
Sulteng mengalami kerugian sekitar 20 triliun dan upaya membangunnya kembali butuh 40 triliun. Sungguh sebuah kerugian yang besar. Apakah kerugian ini bisa diminimalkan? Tentu bisa, karena misalnya UNDP & UN-Ocha memiliki strateginya (silahkan baca tulisan saya yang lain di sini: www.kompasiana.com)
Setelah wilayah Sulteng, kini wilayah Jawa Barat & Sumatera bagian Selatan yang harus bersiap untuk menghadapi potensi gempa besar. Bukan hanya gempa besar yang akan dihadapi 2 wilayah ini, tetapi juga tsunami besar.
Kapan gempa besar akan muncul dari Sunda Megathrust? Juga kapan gempa-gempa besar akan muncul dari megathrust lain yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia? Ilmu pengetahuan belum bisa membuat prediksi tentang waktunya secara akurat, bahkan ilmu pengetahuan tak bisa memprediksi tahunnya. Namun semua megathrust ini memiliki siklus berdasarkan temuan jejak gempa besar yang diteliti oleh ahli geologi.
Menurut catatan yang ditinggalkan Belanda gempa besar pernah mengguncang Batavia di tahun 1699. Guncangannya dirasakan juga di Banten hingga ke Lampung. Di saat bersamaan, gunung Salak di Bogor meletus hingga mengakibatkan longsor di beberapa bagian gunung dan mengganggu aliran sungai yang menjadi pasokan air bersih ke Batavia. Belanda mencatatnya setelah itu tak pernah terjadi lagi gempa sebesar itu.
Gempa & tsunami besar pasti akan menimpa Jakarta dan wilayah-wilayah yang disebutkan tadi. Semoga itu tidak terjadi dalam waktu dekat ini, karena kita belum siap menghadapinya. Kita belum melakukan mitigasi yang tepat. Jadi apa yang sudah kita lakukan atau siapkan untuk menghadapi gempa besar ini?
Apakah pemerintah sudah melakukan langkah yang tepat dalam soal mitigasi bencana gempa besar di Jakarta dan sekitarnya?
Dalam tulisan saya yang lain sebelumnya, gempa besar akan menghancurkan atau mengganggu setidaknya 4 poin penting di bawah ini. Empat poin itu pasti akan menjadi tantangan besar dalam proses penanggulangan bencana nantinya. Seperti terjadi di Sulteng pada September 2018 lalu, hancurnya 3 poin pertama di bawah ini akan menghalangi aliran bantuan atau sistem pasokan bantuan, seperti makanan & minuman, obat-obatan, kebutuhan anak & perempuan, tenda untuk korban dan bantuan lainnya.
Tentu dibutuhkan mitigasi yang tepat untuk menghadapi hancurnya 4 poin di bawah ini:
1. Sistem komunikasi,
2. Infrastruktur darat (jalan raya dan kereta api),
3. Ketersediaan dan pasokan energi listrik dan BBM,
4. Ratusan ribu rumah-rumah biasa yang bukan gedung tinggi (korban terbanyak ada di sini)
Selain 4 poin penting di atas yang harus disiapkan mitigasinya, masih ada lagi beberapa poin lainnya yang bisa mengurangi risiko dari gempa besar. Belajar dari gempa-gempa yang sudah terjadi, maka di bawah ini adalah beberapa poin lainnya yang patut diperhatikan. Peran masyarakat atau swasta tentu bisa diharapkan di beberapa poin di bawah ini.
Gedung tinggi (4 lantai lebih) di Jakarta sudah menerapkan syarat tahan gempa hingga 8 SR. Sayangnya gempa besar nanti bisa lebih dari 8 SR. Sayangnya lagi, menurut berbagai penelitian, gedung-gedung tinggi tahan gempa ini memiliki bagian-bagian - yang bukan struktur utama - yang bisa runtuh, seperti langit-langit, instalasi di langit-langit (lampu, kabel dan pipa), balkon, kanopi, dinding dan lain-lain.
Jadi runtuhan ini bisa membahayakan orang yang berada di bawahnya yang sedang berlindung atau yang sedang menjauhi gedung. Pengelola gedung harus mensosialisasi potensi bahaya ini kepada penghuni gedung.
Bangunan 4 lantai ke bawah tidak menerapkan syarat tahan gempa hingga 8 SR. Jadi ada potensi bahaya gedung runtuh dan bahaya yang sama seperti pada gedung bertingkat tinggi.
Rumah pribadi juga tak menerapkan syarat tahan gempa hingga 8 SR. Jadi, rumah pribadi harus mengikuti petunjuk yang bisa disediakan oleh pemerintah untuk menambah "penguatan" agar rumah tak runtuh saat terjadi gempa besar.
Bagi gedung bertingkat tinggi, gedung bertingkat rendah dan rumah pribadi atau bangunan tak bertingkat, bahaya juga datang dari perabotan berat, besar, yang mudah pecah, mudah terbakar atau meledak. Perabotan seperti lemari besar, rak yang disangkutkan ke dinding bisa jatuh menimpa orang, juga lampu yang digantung ke langit-langit.
Dalam beberapa kejadian gempa, terlihat meja besar bisa terlempar kesana-kemari dalam sebuah ruangan. Tentu ini harus dipikirkan agar semua itu tak terjadi, misalnya dengan cara diikat dengan menggunakan misalnya plat baja ke lantai, langit-langit atau ke dinding agar tak terpental ke berbagai arah.
Akan sangat bagus jika setiap orang memiliki ransel yang akan digunakan saat darurat (setelah gempa besar). Ransel ini berisi makanan dan minuman, juga obat-obatan yang berguna saat gempa besar sudah terjadi. Ingat bantuan tidak akan segera datang, bahkan hingga berhari-hari setelah gempa besar.
Ransel ini bisa diletakkan di rumah atau di tempat melakukan aktivitas, seperti kantor, sekolah, rumah sakit, tempat usaha, dan lain-lain. Kita juga bisa membuat tempat menyimpan barang-barang tersebut di atas dalam jumlah yang lebih besar di tempat terlindung di sekitar rumah.
Pemerintah pusat dan setempat beserta badan penanggulangan bencana sudah saatnya untuk mengeluarkan aturan untuk mengharuskan pengelola gedung agar mengadakan latihan setiap satu periode waktu yang ditentukan. Juga harus ada petunjuk yang mudah dibaca tentang apa yang harus dilakukan saat terjadi dan setelah gempa besar.
Kelurahan juga diwajibkan untuk mensosialisasi secara teratur program mitigasi ini. Semua ini agar semua menjadi siap saat bencana gempa besar terjadi dan akhirnya risiko dan dampaknya bisa dikurangi.
Apakah mitigasi ini sudah dilakukan pemerintah dan badan penanggulangan bencana yang ada? Lagi-lagi saya menganjurkan untuk Googling untuk menjawab pertanyaan ini.
M. Jojo Rahardjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H