Selain kaum khilafah, masih ada lagi tantangan besar di Indonesia, yaitu SDM. Jokowi telah tepat menempatkan pembangunan SDM di prioritas kedua dalam kerangka kerja Jokowi di 5 tahun ke depan. Hanya dengan SDM yang kompetitif, semua prioritas kerja Jokowi bisa terlaksana dengan lancar, yaitu infrastruktur, investasi, reformasi birokrasi, dan APBN untuk rakyat sebagaimana disebutkan dalam pidatonya itu.
Indonesia telah merdeka sepanjang 74 tahun, lebih lama daripada negeri-negeri lain di sekitarnya. Kekayaan alam Indonesia melebihi negeri-negeri lain di sekitarnya. Kekayaan budaya Indonesia melebihi tempat mana pun di dunia di beberapa abad terakhir ini.Â
Namun jika diukur dengan "Human Development Index" yang diterbitkan oleh PBB, Indonesia kini tertinggal jauh dari negeri-negeri lain. Indonesia juga tertinggal jauh dari negeri-negeri lain jika diukur dengan "World Happiness Report" yang diterbitkan PBB sejak 2012.Â
"World Happiness Report" mengukur lebih banyak indikator, yaitu 6 indikator: 1. GDP per capita, 2. Social support, 3. Health life expectancy at birth, 4. Freedom to make life choices, 5. Generosity, 6. Perception of corruption. Indonesia berada di urutan yang buruk jika 6 indikator ini digabung. Indonesia dikalahkan oleh negeri-negeri Asia lain dan negeri-negeri di Amerika Latin.
Tentu kita bisa menyalahkan Orde Baru di bawah Soeharto yang selama 32 tahun mengabaikan pembangunan SDM di Indonesia hingga Indonesia tertinggal jauh di belakang. Namun sekarang kita bebas menentukan cara atau model untuk memperbaiki SDM kita. Meski demikian tentu kita tak hendak menggunakan cara-cara yang tak terbukti di negeri-negeri lain bisa memajukan SDM. Cara kaum khilafah jelas tak bisa memperbaiki SDM, karena di negeri-negeri lain cara kaum khilafah hanya menghasilkan pertumpahan darah dan kemunduran kemanusiaan dan peradaban.
Kita juga tak hendak menggunakan cara-cara yang masih berlevel try and error. Mengapa? Karena sepanjang 30 tahun terakhir ini sudah ada yang giat melakukan penelitian dan penerapan untuk memperbaiki SDM. Mereka melakukannya di seluruh dunia dan bahkan menjadi semacam gerakan global.
Apa itu?
Awalnya adalah beberapa ilmuwan yang bergerak di bidang psikologi dan neuroscience (sains tentang otak). Martin Seligman, seorang ilmuwan yang awalnya seorang psikolog memandang perlunya mengembangkan potensi positif manusia. Psikologi sebelumnya hanya fokus menggali apa yang dapat menjadi salah atau dapat menjadi masalah dari kejiwaan dan bagaimana memperbaikinya.Â
Namun psikologi abai untuk menggali potensi positif dari manusia. Inilah awal dari neuroscience atau positive pschycology yang seringkali digunakan sebagai dasar untuk membangun SDM di seluruh dunia. Ternyata semua manusia memiliki potensi positif yang belum dibangunkan, karena belum digali selama ini oleh sains.
Neuroscience bahkan menyusun tata-cara praktis untuk lebih mudah mengembangkan  SDM. Salah satu neuroscientists yang menjadi terkenal sebagai motivator atau pendorong produktivitas di berbagai perusahaan dunia, adalah Shawn Achor dari Harvard.
Neuroscience juga mendorong terbentuknya sebuah gerakan global, yaitu Action for Happiness ( lihat actionforhappiness.org ). Kata happiness di sini berarti positivity atau potensi positif yang bisa ditumbuhkan. Saat otak memiliki positivity, maka seseorang akan lebih cerdas, lebih kreatif, inovatif, lebih memiliki solusi atas masalah yang dihadapi, memiliki memori yang lebih baik, cenderung pada kebajikan (anti kekerasan, dan lain-lain yang baik), serta lebih sehat dan berumur lebih panjang. Jangan lupa juga mereka yang memiliki positivity akan lebih tahan stres dan tak mudah mengalami depresi.