Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Potensi Gempa Besar di Jakarta, Pusat Pemerintahan Harus Pindah

2 Mei 2019   15:57 Diperbarui: 2 Agustus 2019   23:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini media dipenuhi pro kontra soal Pemindahan ibukota atau pusat pemerintahanan ke Kalimantan. Soal ini sebenarnya bukan soal baru, wacana ini sudah ada sejak 2012 lalu. Kemudian ramai lagi di tahun 2017. Sekarang pemerintahan Jokowi mengumumkan niatnya untuk mematangkan rencana pemindahan ibukota itu. Wacana ini sebenarnya sudah ada sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. 

Di masa pemerintahan Soekarno pemindahan ibukota (pusat pemerintahan) bukan hanya wacana, tetapi ibukota pernah dipindah 2 kali ke kota yang berbeda, yakni ke Jakarta ke Yogyakarta (1946), dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi (1948). Kemudian saat meresmikan pembangunan kota Palangkaraya pada tahun 1957, Presiden Soekarno menyebut rencana pemindahan lokasi ibu kota ke daerah tersebut. Kata Bung Karno sat itu, Palangkaraya akan menjadi kota baru yang dibangun dengan membuka hutan di pinggir sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Palangkaraya berada di tengah-tengah Indonesia, bisa terjangkau lebih mudah dari semua pulau di nusantara. Selain itu, daerah ini juga diperkirakan lebih aman dari bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi.

Jadi Bung Karno saat itu sudah waspada dengan ancaman bencana alam, gunung meletus dan gempa bumi. Mungkin itu harus disebut luar biasa.

Palangkaraya berbeda dengan Jakarta. Palangkaraya bebas gempa besar. Sementara Jakarta dekat dengan Sunda Megathrust (sumber gempa besar) yang bakal menghancurkan Jakarta seperti Mexico di tahun 1985 yang dihantam gempa 8,0 SR. Ancaman gempa besar juga datang dari beberapa sesar yang berada di sekitar Jakarta, yaitu dari selatan (Sukabumi) dan dari Timur (Lembang). Ahli-ahli geologi bahkan menyebut lebih banyak lagi sumber gempa lainnya.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bagaimana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah di bulan September 2018 lalu telah melumpuhkan semua kegiatan ekonomi, sosial dan politik (pemerintahan) di sana. Bayangkan jika itu terjadi pada pemerintahan pusat yang seharusnya tetap berjalan setiap saat. Sulawesi Tengah mengalami kerugian sekitar 18,4 T (sumber: BNPB). Angka kerugian itu bukan angka biaya pemulihan yang dibutuhkan nanti setelah gempa. Entah berapa kerugiannya jika Jakarta yang dihantam gempa besar. Juga entah berapa biaya pemulihannya.

UNDP dan UNOcha sejak 2012 lalu mengkampanyekan konsep Pengurangan Risiko Bencana (PRB) "Act Now, Save Later". Tagline mereka adalah Each dollar invested in disaster preparedness, saves seven dollars in recovery. Apakah Indonesia yang beberapa wilayahnya terancam gempa besar dan tsunami sudah mengadopsi konsep PRB dari UNDP dan UNOcha ini? 

Belajar dari bencana besar gempa & tsunami di Sulawesi Tengah lalu, tentu kita bisa menghitung berapa investasi PRB yang dibutuhkan untuk Jakarta. Sehingga memindahkan pusat pemerintahan atau ibukota ke Kalimantan, bisa disebut sebagai investasi dalam PRB.

Jika kita Googling, maka kita akan menemukan beberapa peringatan dari para ahli geologi tentang adanya ancaman gempa besar di Jakarta. Peringatan ini juga sudah dikumandangkan oleh para ahli geologi dan ahli bencana beberapa tahun sebelum gempa besar dan tsunami menghantam Sulawesi Tengah di September 2018. Sayangnya pemerintah Sulawesi Tengah dan pihak-pihak terkait abai dengan peringatan ini. Tak terlihat ada langkah berarti yang bisa mengurangi risiko saat gempa besar terjadi.

Gempa besar di beberapa wilayah tertentu di mana pun memiliki siklus. Siklus gempa besar di Sulawasi Tengah sudah dihitung dan ahli geologi telah menyebut di tahun-tahun ini yang ternyata terjadi di akhir bulan September 2018 lalu. Siklus gempa besar di Jakarta meski masih dihitung dengan cermat oleh para ahli geologi mengingat banyaknya sumber gempa di sekitar Jakarta. Namun sudah cukup lama tak ada gempa besar di Jakarta. Tentu ini mengkhawatirkan.

Gambar: Liputan6
Gambar: Liputan6

Orde Baru juga pernah menyebut pemindahan ibukota, namun ke salah satu kecamatan di Bogor, yaitu Jonggol. Entah mengapa ibukota mau dipindah ke sana. Pasca reformasi, Presiden BJ Habibie juga pernah mewacanakan kemungkinan pemindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta ke Sidrap, Sulawesi Selatan. Alasan Habibie, daerah ini juga bisa dianggap berada di tengah-tengah wilayah Indonesia.

Lalu tahun 2012 Andrinof Chaniago pakar kebijakan publik juga pernah menyampaikan kajiannya tentang pentingnya pemindahan ibukota ke Kalimantan Tengah. Kemudian tahun 2017 mantan menteri Bappenas ini kembali mendorong adanya kajian pemindahan ibukota. 

Antara lain ia mengatakan di sebuah media, bahwa ibu kota baru harus bisa menjadi kota berkelas dunia yang disiapkan untuk ratusan tahun ke depan. "Kita selama ini hanya tinggal di kota warisan kolonial. Akibatnya, pembangunan dan perkembangan kotanya secara sporadis dan tambal sulam.

Jokowi di tahun 2017 itu (saat melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur) menyebut ada tiga tempat atau tiga provinsi yang tengah dikaji sebagai ibu kota negara RI untuk menggantikan Jakarta. 

Tiga tempat tersebut masih belum disebutkan, karena dikhawatirkan harga tanah di tempat itu akan melambung. Namun menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan tempat yang sedang dikaji sebagai ibu kota baru berada di tiga provinsi di Kalimantan, yaitu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Salah satu alasan pemindahan ini adalah untuk menghindari risiko bencana alam, sebagaimana disampaikan oleh ketua Bappenas, Bambang Brodjonegoro. Ini disampaikan juga oleh Moeldoko kemarin 1 Mei 2019.

Kritik terhadap rencana pemindahan ibukota ini tentu bermunculan. Beberapa mengkritik seolah rencana ini hanya untuk mengurangi risiko hidup di Jakarta, seperti kemacetan yang semakin parah, banjir yang masih memerlukan biaya besar dan lain-lain. Nampaknya tak ada kritik yang substansial terhadap rencana mengurangi risiko bencana gempa besar di Jakarta.


Perkiraan biaya pemindahan ibukota adalah sekitar 400 T lebih. Sedangkan gubernur Jakarta, Anies Basweda menyebut angka 500 T lebih untuk perkiraan biaya menyempurnakan Jakarta yang sudah kelebihan beban. Nampaknya jika pusat pemerintahan dipindah ke Kalimantan, maka beban dari aktivitas pemerintahan dan yang terkait akan berkurang. Dilihat dari angka ini, pemindahan ibukota ke Kalimantan masih lebih murah daripada biaya menyempurnakan Jakarta. Bahkan pemmindahan ini memiliki keuntungan lain, seperti menghidupkan wilayah Kalimantan secara keseluruhan dan untuk jangka panjang. Tentu juga menyelamatkan pemerintahan pusat dari ancaman bencana gempa besar yang bisa melumpuhkan.

Rencana besar yang penting ini tentu tak akan berhasil jika tanpa didukung oleh DPR. Namun, tampaknya hal ini sudah dihitung oleh Jokowi. Setidaknya komposisi parlemen berdasarkan quick count Pemilihan Legislatif 2019, partai yang mendukung pemerintah diperkirakan sekitar 60 persen kursi di DPR.

Apakah kita akan mempertahankan pemerintahan pusat di Jakarta yang terancam gempa besar? Atau apakah kita akan bernasib seperti pemprov Sulawesi Tengah yang lumpuh setelah dihantam gempa besar dan tsunami?

M. Jojo Rahardjo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun