Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkal Terorisme dengan Neuroscience?

19 Maret 2019   15:24 Diperbarui: 19 Maret 2019   22:15 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia gempar.  Dua buah mesjid di Christchurch,  New Zealand diserbu seorang pria bersenjata semi otomatik, Jumat 15 Maret 2019 saat sholat Jumat. Semua yang bergerak ditembak berkali-kali,  bahkan juga yang sudah tak bergerak.  50 orang tewas dan belasan luka-luka. Pelaku, Brenton Tarrant mengaku dari kelompok White Supremacist yang tak menyukai keberadaan imigran di negeri-negeri Barat. 

Sebelumnya, beberapa tahun lalu Stephen Paddock, 64 tahun, menyemburkan ratusan peluru dari senjata otomatiknya ke arah ribuan penikmat festival musik di Las Vegas Oktober 2017 lalu. 58 orang tewas dan ratusan terluka oleh aksinya itu. Selama kira-kira 10 menit ia melakukan itu, hingga akhirnya ia menembak dirinya sendiri di kamar hotelnya tempat ia tinggal, Mandala Bay Hotel and Resort, di lantai 32 tempat ia membantai kerumunan orang di bawah dekat hotel.

Selama berminggu-minggu media di seluruh dunia dipenuhi berbagai ulasan tentang motif Paddock melakukan serangan mengerikan itu. Satu teori konspirasi menyebut Paddock telah bergabung dengan kelompok teroris seperti ISIS atau Alqaeda. Analisis yang lain menyebut ia bagian dari gerakan ultra kanan yang anti pemerintah.

Penyelidikan tentang motif Paddock bahkan baru dianggap selesai Januari 2019 lalu. Badan penyelidikan federal Amerika, FBI mengaku tak bisa menemukan motif Paddock melakukan serangan mematikan itu (independent.co.uk).

Meski Paddock meninggalkan sejumlah senjata bernilai USD 62.000 dan kekayaan bernilai USD 1,3 juta dalam 14 akun bank yang berbeda, namun kekayaan Paddock disebut sedang berkurang dalam beberapa tahun terakhir hidupnya. Beberapa orang yang mengenalnya, termasuk pacar terakhirnya yang tinggal di Filipina menyebutkan Paddock sedang depresi berat. Paddock bahkan menemui dokter untuk mengurangi gangguan kecemasan yang dialaminya. Namun Paddock tak mau menggunakan obat anti depresi, malah sering terlihat menggunakan alkohol.

Satu dokter menyebut Paddock menderita bipolar disorder. Tentu itu tak mengherankan jika kita membaca catatan hidupnya sejak kecil. Ayahnya seorang perampok bank yang dijebloskan ke dalam penjara saat ia masih berumur 7 tahun, dan ia tak dibesarkan oleh ibunya sendiri. Pernikahannya sudah gagal 2 kali tanpa anak. Juga gagal membangun hubungan dengan beberapa pacarnya. Pacar terakhirnya dikirim pulang ke Filipina sebelum Paddock melakukan serangan sadis kepada kerumunan orang tak berdosa di Las Vegas itu.

Otak Paddock sudah diteliti dan tak terlihat ada kelainan. Neuroscience sekarang memang sudah bisa mengidentifikasi otak para psikopat. Otak Paddock tak menunjukkan ia seorang psikopat.

Penelitian neuroscience beberapa tahun terakhir ini bahkan sudah menemukan, bahwa keputusan untuk melakukan bunuh diri atau melakukan serangan mematikan pada orang lain bisa dijelaskan begitu sederhana. Adanya hormon cortisol yang terlalu banyak di otak bisa merusak kejernihan berpikir seseorang. Kecenderungan pada kebajikan menjadi hilang, malah cenderung pada kekerasan. Demikian juga kecurigaan pada orang lain yang tak beralasan, dan juga cemas yang tak berpangkal.

Bagaimana hormon cortisol bisa terlalu banyak di otak? Tekanan hidup atau berbagai peristiwa negatif yang terus-menerus bisa memicu jumlah hormon cortisol yang terlalu banyak. Mereka yang sejak kecil hidup tidak harmonis atau tidak bahagia cenderung tak mampu mengatasi berbagai peristiwa negatif yang terjadi. Kondisi itu lalu memicu keluarnya hormon cortisol secara berlebihan. Nampaknya itu yang terjadi pada Stephen Paddock, yaitu mengalami depresi yang lama. Meski Paddock kaya raya sebagai pengusaha real estate, namun ia tak mampu mengurangi jumlah hormon cortisol di otaknya. Kejernihan berpikirnya hilang, bahkan ia menjadi cenderung untuk berbuat kekerasan yang mematikan dan melukai orang lain.

Apakah aksi Paddock itu tergolong aksi teroris? Mungkin ya, karena definisi terrorism adalah "the unlawful use of violence and intimidation, especially against civilians, in the pursuit of political aims." Paddock disebut memiliki pandangan ultra kanan, sehingga ia bisa disebut memiliki motif politik dalam aksinya.

Gambar: http://dailystar.co.uk
Gambar: http://dailystar.co.uk
Lalu bagaimana dengan kondisi kejiwaan teroris lain? Misalnya teroris yang meneriakkan kalimat agamis saat melakukan aksinya?

Agama teroris jelas menanamkan kecemasan, ketakutan, atau memberikan negativity pada anggotanya. Umat yang berbeda dengan anggota agama teroris disebut berbahaya dan selalu mengancam. Tuhan bahkan akan menjebloskan anggota agama teroris ke dalam neraka jika mereka tak beraksi memusnahkan atau mengalahkan umat yang berbeda dengan mereka. Setiap hari mereka mendengarkan, melihat atau membaca hal-hal yang negatif yang diberikan oleh pemuka agamanya.

Tentu situasi itu memicu keluarnya hormon cortisol dalam otak anggota agama teroris. Jika otak mereka terlalu lama terendam hormon cortisol, maka anggota agama teroris siap melakukan aksi brutal bagi kemanusiaan. Kita sudah lihat itu berkali-kali di berbagai belahan dunia.

Menjadi tugas kita semua untuk mengeliminasi situasi yang memicu keluarnya hormon cortisol secara berlebih di otak. Kita harus aktif secara bersama mencegah mereka yang suka berteriak menyebar ajakan untuk masuk ke dalam agama teroris.

***


Neuroscience sekarang sudah populer di berbagai negeri maju. Mereka masuk ke dalam urutan teratas dari daftar World Happiness Report yang diterbitkan oleh PBB setiap tahun.

Indonesia masih jauh dari semua itu. Neuroscience harus dipopulerkan di Indonesia agar semua tahu cara mudah untuk mendapatkan positivity. Jika tidak kita hanya akan menjadi negeri penghasil teroris.

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun