Penelitian neuroscience terus sibuk mencari apa yang terjadi dengan otak saat orang mendapatkan pengalaman spiritual? Andrew Newberg, penulis buku “Why God Won’t Go Away?” menggunakan teknologi modern untuk mempelajari aktivitas otak dari para Buddhist monks, dan juga biarawati Franciscan. Newberg mengamati apa yang terjadi di otak saat mereka bermeditasi atau berdoa dan mengalami apa yang disebut ‘peak transcendence’ atau apa yang dipercaya sebagai sebuah “pertemuan dengan tuhan” atau wihdatul wujud, atau juga manunggaling kawula gusti.
Ia berharap dengan mempelajari bagian~bagian otak yang berperan dalam menumbuhkan positivity saat meditasi dan berdoa, ilmuwan mungkin bisa menemukan cara untuk mengalami pengalaman spiritual tanpa melibatkan “Tuhan”. Untuk ilmuwan seperti Newberg, pengalaman spiritual memang tak ada hubungannya dengan keimanan atau kepercayaan agama. Kepercayaan tak lebih daripada refleksi dari kerja otak untuk dapat mengalahkan rasa tidak nyaman pada sesuatu yang tak bisa dipahami, misalnya alam semesta, alam sekitar, Tuhan, apa yang akan terjadi setelah mati. Meski demikian, kepercayaan ini ternyata berguna untuk meningkatkan peluang spesies manusia untuk bertahan hidup atau tidak punah.
Beberapa penelitian tentang moral atau kebajikan menyebutkan tentang mengapa manusia memiliki kecenderungan pada moral atau mengapa manusia memiliki kecenderungan pada berbuat kebajikan terhadap sesama manusia dan pada apapun di sekitarnya? Sebuah buku yang berjudul “The Origins of Virtue: Human Instincts and the Evolution of Cooperation” menjawab pertanyaan itu: Karena kebajikan meningkatkan peluang spesies manusia untuk bertahan hidup.
Manusia perlu bekerja sama dengan apapun. Atau dengan kata lain, manusia perlu memahami banyak hal di sekitarnya untuk bertahan hidup. Itu artinya tidak merusak atau tidak melenyapkan apa yang di sekitarnya tanpa dituntun oleh ilmu pengetahuan. Kebajikan ini adalah manifestasi dari dorongan manusia untuk terus berusaha memahami apa yang ada di sekitarnya. Manusia dalam proses evolusinya adalah keturunan dari mereka yang memiliki sikap yang baik terhadap lingkungannya dan dunia ini secara umum.
Penelitian neuroscience tentang apa yang terjadi pada otak orang yang melakukan kebajikan hampir sama dengan otak orang yang melakukan aktivitas spirituality, misalnya melakukan aktivitas meditasi atau berdoa. Meski demikian efek yang terbesar adalah terjadi pada orang yang melakukan meditasi atau berdoa. Positivity yang dihasilkan dari meditasi dan berdoa lebih besar dan lebih lama bertahan di otak. Ingat juga bahwa positivity yang didapatkan ini membuat tubuh menjadi lebih sehat, tahan terhadap penyakit yang berujung pada umur yang lebih panjang.
Ada proses berputar atau saling mempengaruhi antar spirituality dan kebajikan. Spirituality menghasilkan kecenderungan kepada kebajikan, sementara itu kebajikan membuat orang cenderung pada pemikiran tentang spirituality (lihat artikel saya sebelumnya tentang spirituality).
Aktivitas yang dilakukan orang yang memiliki spirituality memang kebanyakan berkaitan dengan perbuatan kebajikan. Berdoa sekalipun adalah sebuah perbuatan kebajikan, karena isi doanya adalah mengharapkan yang baik bagi dirinya yang akan berguna bagi orang lain. Jadi sekali lagi meditasi atau berdoa (spirituality) menghasilkan positivity. Sedangkan positivity menghasilkan kecenderungan pada kebajikan. Terus berputar seperti itu.
Ingat spirituality menghasilkan kebajikan dan kebajikan adalah sebuah cara alam untuk mempertahankan spesies manusia untuk tidak punah.
M. Jojo Rahardjo
Sejak 2015 menulis ratusan artikel & video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H