[caption caption="Photo: Koleksi pribadi"][/caption]Dua tahun lalu Google Inc Executive Chairman, Eric Schmidt sudah meramalkan bahwa dalam masa sepuluh tahun ini tak akan ada lagi sensorsip. Teknologi akan terus berkembang sehingga upaya pemerintah dalam mendalangi sensorsip akan dikalahkan begitu saja dengan gampang.
Saya mencatat sejak beberapa tahun lalu munculnya beberapa aplikasi gratis di Internet untuk mengakses dengan mudah situs-situs yg sudah diblokir oleh pemerintah. Aplikasi itu tentu disebar secara gencar di komunitas tertentu seperti pornografi, politik atau komunitas anti agama tertentu.
Jadi apa gunanya blokir yg dilakukan pemerintah? Mungkin sekedar untuk memiliki alasan membuat proyek yang uangnya bisa untuk bancakan partai politik? Atau mereka yang mencoba memblokir sangat yakin upaya mereka bisa menghalangi orang untuk mengakses situs-situs yang mereka anggap haram.
Anehnya, situs-situs yang isinya mengandung ajaran terorisme masih terus berkibar hingga sekarang. Banyak yang kebingungan karena situs porno dianggap lebih berbahaya daripada situs teroris.
Sementara itu situs-situs anti agama tertentu banyak yang diblokir, meski situs itu tidak mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Situs-situs itu dituduh menyebarkan kebencian. Padahal situs-situs itu membenci perbuatan kriminal atau ajaran kriminal.
Hari ini, Rabu 12 November 2015, sejak pagi tadi saya membaca ribut-ribut pemblokiran sebuah situs yang isinya melaporkan dengan lengkap jalannya persidangan kasus pembantaian ribuan orang tanpa pengadilan di tahun 1965-1966. Situs itu adalah: http://1965tribunal.org.
Saya sudah mencoba dan memang terjadi pemblokiran. Namun pemblokiran itu tidak ada gunanya di jaman media sosial sekarang ini. Dengan cepat media sosial dipenuhi dengan informasi mengenai cara membobol pemblokiran itu.
Apa yang ingin ditutupi oleh pemblokir situs itu? Siapa mereka yang merasa penting untuk memblokir situs itu? Apa untungnya memblokir sebuah situs, jika situs lain atau media sosial sangat terbuka dalam menyebarkan berbagai informasi?
Berbagai informasi mengenai Tragedi 1965-1966 sebenarnya sudah lalu-lalang di media sosial sejak lama sekali. Lihat saja berbagai perdebatannya di Facebook misalnya. Versi yang dibuat pemerintahan Soeharto tidak lagi laku dikunyah. Meskipun informasi yang lalu-lang itu sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang disampaikan pemerintahan Soeharto, namun itu tidak membuat keguncangan atau anarki di masyarakat. Semua masih biasa-biasa saja.
Hasil persidangan "1965 International People's Tribunal" nanti tentu akan membuat perubahan. Setidaknya hasil yang akan dirilis akan dianggap lebih valid daripada informasi yang selama ini sudah beredar di media sosial.Â
Semoga hasilnya membuat kita semua sadar, bahwa ada yang salah dalam sejarah Indonesia. Semoga itu menjadi pelajaran paling berharga agar tragedi berdarah yang meracuni jiwa bangsa ini selama puluhan tahun tidak terulang kembali .
Mari kita tunggu!
M Jojo Rahardjo
Tulisan tentang positivity dan positive psychology bisa dibaca juga di portal perpustakaan digital "Inspirasi" dan di Facebook Fan Page "Membangun Positivity".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H