Mohon tunggu...
M. Joenoes Joesoef
M. Joenoes Joesoef Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan Pertamina. Menulis untuk "cegat" pikun dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Komputer Menilai Puisi

15 Januari 2014   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOMPUTER MENILAI PUISI

Cerpen : M. Joenoes Joesoef

MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2025, TERSEBAR LUASLAH PENGUMUMAN tentang sebuah sayembara penulisan puisi kontemporer. Yang menyelenggarakan adalah Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair, sebuah badan resmi yang khusus ditubuhkan oleh Departemen Budaya dan Peradaban. Tujuannya adalah merangkul para penyair, “supaya potensi mereka dapat dibina dan diarahkan untuk mendukung keberhasilan pembangunan yang dikawal oleh budaya dan peradaban berdasarkan kepribadian Indonesia seutuhnya”. Oleh karena sifatnya yang khusus itu, anggota-anggota Dewan ditunjuk dan diangkat dengan SK khusus pula, langsung dari Presiden. Lucunya, tak ada seorang penyair pun di antara para anggota Dewan itu. Ini membikin para penyair bersikap sinis belaka. Apalagi, para pemrakarsa pembentukan Dewan itu telah melakukan suatu kesalahan taktis yang fatal. Kata-kata dibina dan diarahkan samasekali tak boleh dipakai atau dikaitkan dengan urusan yang ada hubungannya dengan para penyair. Mereka adalah orang-orang independen, yang teramat sangat menghargai diri sendiri dan kebebasan pribadi. Membayangkan dirinya akan dibina dan diarahkan, membikin mereka jadi alergi. Maka para penyair itu pun tidak pernah merasa dekat dengan Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair, apatah lagi sampai merasa memilikinya. Bagi mereka, Dewan itu hanya samaran semata bagi urusan “siapa dapat dan dapat berapa”.

Situasi inilah yang mungkin membayangi para penyair, ketika pertama kali mendengar pengumuman Dewan tentang sayembara itu, hingga hati mereka tawar-tawar saja. Tak ada yang langsung berniat atau berminat untuk ikut serta. Bahkan tergugah pun tidak. Mereka anggap, terlalu merendahkan diri sendirilah, kalau sampai mereka biarkan karya-karya mereka dinilai oleh Dewan semacam itu, yang mereka ketahui kualitas para anggotanya.

Para penyair itu baru menaruh perhatian, setelah ada pengumuman susulan, secara khusus menjelaskan cara-cara penilaian yang akan dilakukan nanti. Dikatakan, “Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair sangat menyadari, bagian yang paling krusial dari keseluruhan proses penyelenggaraan sayembara penulisan puisi semacam ini adalah kriteria dan cara penilaian yang dilakukan. Sudah diketahui sejak jaman dahulu kala, tak ada satu pun cara baku yang dapat diterapkan untuk melakukan penilaian terhadap sebuah puisi atau hasil karya kesusasteraan pada umumnya, yang betul-betul menghasilkan penilaian yang substantif obyektif. Mau tidak mau, kemanusiawian para penilai turut memegang peranan. Ini juga sudah dijustifikasi oleh almarhum HB Jassin, maha kritikus sastra kita yang belum ada penggantinya, sekitar tiga perempat abad yang lalu. Maka untuk mengatasi kelemahan atau kekurangsempurnaan ini, Dewan telah memikirkan beberapa gagasan, guna menghasilkan metode yang paling baik. Pada dasarnya, gagasan-gagasan itu bertolak dari suatu pokok pikiran, obyektivitas penilaian dapat ditingkatkan, kalau peranan subyektivitas manusia dieliminasi seminimal mungkin. Dengan kata lain, penilaian terhadap puisi hasil karya seorang penyair atau apa sajalah hasil kesusasteraan lainnya, dapat menjadi obyektif maksimal, kalau penilaiannya tidak lagi dilakukan oleh manusia. Dan dalam era sophisticated technology seperti sekarang ini, hal itu mungkin saja dilakukan. Untuk itulah, dengan bangga dan gembira, Dewan memberitahukan, sejak penyelenggaraaan sayembara penulisan puisi kali ini dan yang berikutnya, penilaiannya tidak lagi akan dilakukan oleh penilai-penilai manusia, tetapi oleh komputer. Ini dapat dilakukan, berkat kerjasama dengan Institut Ilmu Komputer Terapan, yang oleh Dewan telah diserahi proyek ini. Terkait dengan yang disampaikan di atas, maka Dewan mengundang dan sangat menghimbau, supaya para penyair yang merasa punya nama, daya, potensi, agar ikut ambil bagian. Dengan sistim penilaian yang dijamin obyektif ini, kelak dapatlah dilihat, karya siapakah yang terbaik dari semua karya yang masuk nominasi. Tidak ada yang lebih sah dan otentik selain hasil akhir melalui cara penilaian yang dilakukan oleh komputer ini.”

Pengumuman susulan itu betul-betul berhasil menggugah perhatian para penyair. Mereka bagai dibangunkan dari sikap apatis dan ayal-ayalan yang (sengaja) mereka tunjukkan selama ini. Sambil tetap bertanya-tanya pada diri sendiri atau sesama penyair, betulkah komputer bisa menilai puisi dengan baik dan prima, mereka kerja tekun bikin puisi, lalu mengikutsertakannya ke sayembara. Mereka merasa ditantang bermuka-muka. Mereka jadi betul-betul ingin tahu, siapakah yang kemudian berhak menjadi “Yang Terbaik Tahun Ini”. Dengan perasaan tak sabar dan hati berdebar-debar, mereka menunggu pengumuman Dewan.

Tetapi begitu pengumuman itu muncul, terjadilah topan badai kegemparan yang bukan main. Masaalahnya, komputer yang sangat diagung-agungkan kemampuannya itu, ternyata telah memilih “puisi” berjudul “Anak yang menangis” karya seorang pengamen puisi di biskota untuk dinobatkan sebagai “Yang Terbaik Tahun Ini”.

Anak yang menangis.

aaaa, eeee, iiii, oooo, uuuu

ae, ai, ao, au, ea, ei, eo, eu, ia, ie, io, iu

oa, oe, oi, ou, ua, ue, ui, uo

a e i o u, u o I e a

aaaa, eeee, iiii, oooo, uuuu

………………………………

“Puisi” itu ditulis sebanyak satu setengah halaman kuarto, spasi satu. Tetapi seluruh isinya merupakan pengulangan belaka dari empat baris yang pertama itu. Jadi pengulangan rangkaian huruf-huruf belaka, yang membentuk suku kata saja pun tidak, apalagi kata yang utuh. Maka wajarlah kalau tak ada seorang waras pun yang dapat mengerti, bagaimana bentuk centang perenang seperti itu lalu disebut puisi. Bahkan sampai dipilih sebagai yang nomor satu. Tetapi, demikianlah komputer telah menetapkan.

Menghadapi kasus ini, para penyair betul-betul terdorong untuk bersatu. Mereka pun mengadakan pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, talkshow, tak bosan-bosannya bicara meluapkan isi hati kepada media, terutama media elektronik dan media sosial. Mereka lupakan polemik-polemik “kencang-kendur” yang selama ini biasa terjadi antara sesama mereka. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk beramai-ramai meluruk Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair. Tidak boleh tidak, mereka harus tunjukkan perasaan mereka. Sungguh mereka kuatir, kalau puisi seperti itu diakui sebagai puisi, bahkan sampai diberi predikat “Yang Terbaik Tahun Ini”, akan seperti apa wajah puisi di negeri ini. Mereka merasa perlu menuntut pertanggungan jawab Dewan, demi masa depan puisi itu sendiri. Pelurusan mutlak harus dilakukan.

Ternyata, Ketua Dewan, seorang Profesor Ekonomi yang lebih terkenal sebagai pakar perdagangan singkong internasional, juga tak kalah bingungnya. Walau pun perpuisian amat sangat jauh dari bidang spesialisasinya, secara akal sehat saja dapat juga dia merasakan, “Anak Yang Menangis” tak patut diberi kehormatan yang begitu tinggi. Dikeroyok oleh sekian banyak penyair, yang bicaranya rata-rata bebas lepas dan sinis, dia pun kalangkabut. Akhirnya dia berusaha memindahkan tanggungjawab kepada para pakar di Institut Ilmu Komputer Terapan, yang diserahi pengelolaan semua masaalah terkait dengan soal penilaian sayembara puisi itu. Tetapi para penyair tak mau mengerti. Dewan yang menyelenggarakan sayembara itu, maka Dewan juga yang harus mempertanggungjawabkannya. Ramai-ramai mereka menyanyikan lagu dangdut jadul “Kau yang memulai, kau yang mengakhiri”. Dengan wajah pucatpasi, Ketua Dewan berhasil “menyelinapkan diri”.

Berhari-hari kalangan para penyair diliputi ketegangan. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan akhirnya memindahkan ketegangan itu ke kalangan masyarakat yang lebih luas. Ada pihak-pihak yang ambil prakarsa untuk unjukrasa. Baik yang pro mau pun kontra. Konflik terbuka mulai membayang. Sampai akhirnya aparat keamanan tertinggi menilai, the case of poetry ini dapat mengganggu stabilitas nasional. Harus secepatnya diselesaikan. Maka pimpinan Dewan didesak untuk mengadakan pertemuan dengan para penyair dan menerangkan segala sesuatunya dengan lengkap dan jelas, sehingga ada kejernihan tuntas, all will clear and clean.

Ketika pertemuan yang menentukan itu kemudian dilangsungkan, ternyata para penyair tidak lagi dihadapkan dengan Ketua Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair, tetapi dengan salah seorang deputy dari Institut Ilmu Komputer Terapan. Orangnya masih muda, tetapi sudah bergelar profesor. Tampangnya yang rada jelek jadi betul-betul jelek karena rambutnya sulah secara tak proporsional.

“Dengan jujur saya harus mengakui, secara pribadi, saya samasekali tidak suka puisi barang sedikit pun, karena saya tidak suka membuang-buang waktu saya yang berharga,” begitu profesor sulah itu memulai taklimatnya. “Tetapi karena saya merasa mendapat kehormatan yang sangat tinggi dari Dewan Tertinggi Untuk Urusan Puisi Dan Penyair untuk ikut ambil bagian mengurusi soal puisi ini, apa boleh buat, saya terpanggil untuk bikin studi khusus. Ternyata, buat saya, memahami puisi itu jauh lebih sulit dari menghadapi dan menyelesaikan masaalah-masaalah ilmiah yang jadi “makanan” saya sehari-hari. Menghadapi puisi, rasio dan logika saya samasekali tidak jalan. Mandek dia, sampai lumutan, he-he-he! Walau saya sudah berusaha mati-matian, saudara-saudara penyair, tetapi apa yang saya ketahui tentang puisi itu rasanya masih sangat sedikit. Masih kuat kesan saya, puisi itu hanyalah kumpulan kata-kata yang dirangkaikan dengan cara-cara tertentu, yang tergantung sepenuhnya kepada kondisi dan mood si penyair sendiri. Dan rupanya ada juga penyair yang moody sedemikian rupa, sehingga hasilnya jadi tidak karuan. Ada sebuah puisi yang saya lihat susunan kata-katanya begitu terlepas satu sama lain, hingga tidak jelas juntrungannya. Ini bikin saya berpikir, kalau yang seperti itu masih dinamakan puisi juga, saya pun sanggup menciptakannya berkodi-kodi setiap hari. Caranya, tinggal salin saja isi kamus ke carik-carik kertas kecil, masukkan ke sebuah wadah, stoples boleh, kopiah boleh, kocok-kocok, ambil carik-carik kertas itu satu persatu, deretkan. Simsalabim, jadilah sebuah puisi, he-he-he! Mohon jangan tersinggung, saudara-saudara penyair. Saya tidak bermaksud menghina. Justru saya hendak bilang, berkat pikiran iseng itu saya berhasil tunaikan tugas yang dilimpahkan Dewan kepada saya. Padahal tadinya saya sudah hampir putus asa. Bayangkan, bagaimana saya harus menilai sebuah karya yang dibangun melalui olah rasa dan olah jiwa dengan menggunakan komputer, alat yang eksak sekali, tak bersinggungan samasekali dengan rasa dan perasaan. Tidak mungkin menciptakan cara baru, agar komputer dapat diberi masukan yang menampung unsur-unsur itu. Sungguh sulit sekali masaalah yang saya hadapi. Sampai akhirnya titik terang itu saya lihat juga. Dimulai dengan niat iseng saya, yang ingin jadi penyair dengan hasil berkodi-kodi puisi setiap hari, seperti tadi saya katakan. Saya jadi sadar, sebuah puisi pada hakekatnya memang terdiri dari rangkaian kata. Pengucapan setiap kata, tentu punya warna suara tersendiri. Ini tergantung dari konstruksi sebuah kata, bagaimana porsi huruf hidup dan huruf mati didalamnya. Ucapkanlah misalnya “papaya”, “buaya”. Bandingkan dengan “jarak”, “katak”. Pasti terasa nuansa beda warna suaranya. Setelah menyadari fungsi kata pada sebuah puisi, juga adanya warna suara pada sebuah kata, saya tiba pada sebuah petunjuk bagi pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada saya itu. Kita harus kembali kepada huruf, saudara-saudara penyair. Ya, huruf! Kita semua tahu, sebuah kata berasal dari rangkaian huruf. Dan setiap huruf dapat dibunyikan atau disuarakan. Dalam sistem perhurufan kita, sudah kita kenal pembagian huruf dalam huruf hidup atau vokal dan huruf mati atau konsonan. Tidak usah menjadi komputer pun, kita segera tahu, warna suara yang paling baik tentulah dinisbahkan kepada deretan huruf yang disebut huruf hidup atau vokal itu. Jelasnya a, e, i, o, u. Kemudian saya bikinlah Software Menilai Puisi, yang akan menilai puisi-puisi pengikut sayembara itu. Software mengurai puisi itu, bukan lagi berupa rangkaian kata-kata, tetapi deretan huruf-huruf. Kemudian dianalisis berapa jumlah vokal dan konsonan yang ada di puisi tersebut. Seperti yang saya sebutkan tadi, porsi vokal dan konsonan pada sebuah kata menentukan warna suara kata itu. Saya sendiri percaya, seorang penyair mumpuni punya kepekaan unggul untuk memilih kata-kata dengan estetika tinggi. Menurut saya, kata dengan estetika tinggi itu tidak lain dan tidak bukan adalah kata-kata dengan warna suara yang baik. Demikianlah, setelah menganalisis keberadaan vokal dan konsonan dalam sebuah puisi, komputer pun memberi score. Untuk membikin sederhana sistimatika penilaian, huruf-huruf vokal itu saya beri score 100. Sementara huruf-huruf konsonan cuma saya beri score 50. Berkaitan dengan ini, saudara-saudara penyair, penobatan “Anak Yang Menangis” sebagai “Yang Terbaik Tahun Ini”, sebetulnya tak perlu dijadikan persoalan. Dengan mata telanjang pun saudara-saudara dapat jelas melihat, baris-baris puisi itu seluruhnya terdiri dari vokal belaka. Jadinya sangat wajar, kalau komputer memberikan score 100. Angka yang mutlak. Tentang apakah “Anak Yang Menangis” itu memenuhi syarat sebagai puisi atau pantas disebut sebagai puisi atau apa, saya tidak mau ikut campur. Itu jelas bukan urusan saya. Saya samasekali tidak punya kompetensi untuk itu. Sebagai pakar IT, saya kira sampai disinilah batas partisipasi saya. Sudah saya usahakan merintis apa yang disebut-sebut “komputerisasi puisi”. Apakah usaha saya itu tepatguna atau berdayaguna bagi dunia perpuisian yang saudara-saudara geluti, terserah kepada saudara-saudara penyair sendiri.”

Para penyair geregetan sekali mendengar uraian profesor sulah itu. Banyak betul yang ingin menjitaki kepalanya. Mereka anggap, apa yang dilakukan sang profesor dengan software bikinannya itu sangatlah absurd dan sewenang-wenang. Kalau dibiarkan tersebar, akan bikin hancurlebur citra puisi yang begitu agung dan mulia.

Tetapi banyak juga penyair yang tetap berkepala dingin. Mereka memang merasakan juga, apa yang dilakukan sang profesor terhadap puisi mereka memang sewenang-wenang dan kagak puguh. Tetapi, mengapa sampai bisa terjadi seperti itu? Ya, karena kealpaan para penyair sendiri. Mengapa mau percaya kepada hal yang seharusnya memang tidak perlu dipercaya? Lihatlah, menilai puisi dengan komputer! Adakah yang lebih begok dari itu?==============

M. Joenoes Joesoef, 75

Menulis untuk “cegat” pikun dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun