Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Boleh Saja Ahok Tidak Berhak Dipilih, Tapi Konstitusi Harus Diubah Dulu

27 Maret 2017   07:01 Diperbarui: 27 Maret 2017   16:00 1857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh saja Ahok dilarang mencalonkan diri menjadi gubernur atau presiden karena beragama Kristen. Tapi ada syaratnya. Konstitusi Indonesia harus diubah dulu, dari Negara berdasarkan Pancasila ke  Negara berdasarkan syariat Islam. Selama persyaratan itu belum terpenuhi, maka para pemimpin Islam fanatik seperti Imam Besar FPI, Habib Khirziq  dan pengikutnya, tidak boleh mengganggu hak konstitusional Ahok untuk memilih dan dipilih.

Ia tidak boleh didemo dan dihalang-halangi menjadi gubernur Jakarta hanya karena non muslim. Segala upaya untuk menghalang-halangi Ahok, dengan mencari-cari alasan dan membuat fitnah, maka perbuatan itu  tergolong mungkar dan tidak menegakkan keadilan sesuai ajaran Islam. Tuhan akan memberikan azab kepada orang-orang yang tidak berlaku adil.  

Oleh sebab itu, seluruh ormas dan parpol Islam sebaiknya mulai bekerja, berjuang mengajak penduduk yang beragama Islam untuk memenangkan pemilu. Untuk mengubah UUD, diperlukan sedikitnya 2/3 kursi  yang hadir dalam SU MPR. Jadi, parpol Islam harus mampu memenangkan total  465 kursi di DPR dan DPD. Tujuannya adalah untuk memungkinkan terselenggaranya SU MPR guna mengubah dasar-dasar Negara dan UUD,  untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara berlandaskan syariat Islam. Itulah jalan konstitusional yang legal dan sah.

Tentu  perjuangan untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara yang didasarkan syariat Islam itu tidak mudah. Pertama, para pemimpin Islam, baik di ormas maupun di parpol, harus memulai dengan diri mereka sendiri untuk menjadi teladan (uswah hasanah) bagi pemeluk Islam biasa.  Mereka juga harus pula meningkatkan kualitas dan kapabiltas pribadi mereka agar memenuhi persyaratan menjadi pemimpin yang amanah, fathanah dan tabligh. Selain itu, mereka juga haruslah orang-orang yang anti korupsi dan  mendapatkan kekayaan secara halalan thayyiban,yang bisa dipertanggung jawabkan  secara tranparan.

Sampai di sini, terlihat betapa sulitnya memperjuangkan syariat Islam seutuhnya. Masalahnya, banyak pemimpin Islam dalam mencari rezeki tidak ada bedanya dengan kebanyakan pemimpin dari ormas dan partai-partai politik  pada umumnya, yaitu melalui korupsi, mencuri uang Negara. Pada hal ajaran Islam sangat keras kepada para pelaku korupsi, hukumannya adalah potong tangan.  

Contohnya mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq yang terpeleset korupsi impor daging sapi, sekarang mendekam di penjara. Contoh lain Suryadharma Ali, mantan Ketum PPP yang dihukum penjara karena korupsi dana penyeleggaraan haji. Contoh lain, Rahmat Yasin, mantan bupati Bogor dan Ketua PW PPP Jawa Barat, terlibat korupsi tukar guling tanah dan masuk penjara.

Contoh lain lagi, Muhammad Sanusi, meski dari Partai Gerindra yang nasionalis,  berkoar akan menegakkan syariat Islam jika berhasil memenangkan Pilgub DKI  pada 2017. Ia ingin tampil sebagai pemimpin Islam. Tetapi ia ditangkap KPK karena menerima suap dari bos perusahaan properti raksasa Agung Podomoro.

Hal berikutnya yang perlu dilakukan para pemimpin Islam adalah menciptakan kekompakan guna mewujudkan kekuatan untuk menegakkan syariat Islam di bumi nusantara. Sayangnya pula dalam  4 kali pemilu di era reformasi, belum pernah sekalipun ormas dan partai Islam benar-benar kompak untuk suatu visi dan misi yang sama,  berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

Empat parpol  Islam atau berbasis masa Islam, yaitu PPP, PKS, PAN dan PKB tidak pernah kompak. Mereka memilih jalan sendiri-sendiri.  Mereka lebih cenderung berkoalisi dengan partai-partai penguasa, dengan Partai Demokrat di zaman SBY dan PDIP di era Jokowi sekarang. Akibatnya, kursi yang dimiliki parpol Islam tersebut tidak punya posisi tawar yang signifikan. Selain sangat sedikit jumlahnya, hanya sekitar 35% dari jumlah kursi di DPR dan DPD, juga terpecah pada 2 koalisi pro dan oposisi pemerintah.

Belum lagi perjuangan panjang untuk meyakinkan pemeluk Islam yang tergolong liberal dan sekuler untuk menjalankan ajaran Islam secara benar.  Sebagai contoh nyata, sampai sekarang, meski sudah diterapkan selama lebih 20 tahun, sistem perbankan syariah masih belum diikuti oleh mayoritas pemeluk Islam. Pangsa pasar perbankan syariah masih jauh, hanya 5% dari total pangsa pasar perbankan secara nasional.

Jadi masih panjang dan jauh perjuangan untuk mengubah dasar-dasar Negara Indonesia menjadi Negara Islam, atau Negara berdasarkan syariat Islam. Bisa jadi  Indonesia sebagai negara berdasarkan syariat Islam itu hanya fatamorgana, yang tidak akan pernah terwujud sampai dunia kiamat.

Oleh sebab itu,  para pemimpin ormas dan parpol Islam harus sadar diri bahwa tidak ada jalan pintas. Negara Islam tidak bisa  ditegakkan dengan demonstrasi,  sweeping dan tindakan kekerasan terhadap pengikut agama lain. Ada jalan yang sah dan legal sebagaimana dijelaskan UUD 1945. Karenanya, setiap tindakan anarkis yang dilakukan untuk mengganggu dan pemeluk agama lain untuk mendapatkan hak-hak konstitusional  mereka, haruslah ditindak oleh Negara.

Bahkan ajaran Islam sendiri tidak sedikitpun mengajarkan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan kepada pengikut agama lain. Tuhan sendiri menjamin masuk surga, baik orang-orang beriman (muslim),  pengikut Yahudi, Kristen dan penganut agama shabi’in (non samawi), asalkan mereka meyakini adanya Tuhan dan mereka selalu berbuat amal-amal saleh (QS/2:62).

Sekian dulu, Salam

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun