Gamawan Fauzi, Tokoh Anti Korupsi Dalam Kemelut Korupsi E-KTP
Setelah 2004 diramaikan oleh korupsi berjamaah skala setengah mushala,  maka pada 2017 akan digelar lagi sidang tipikor untuk kasus korupsi berjamaah dengan skala lebih besar, satu masjid di tingkat kampung. Pada 2004, sidang tipikor hanya melibatkan 26 anggota DPR, tetapi tanpa kerugian Negara. Mereka dituduh terima suap berupa cek yang dibagikan oleh Nunun Nurhayati yang besarnya total Rp 20,8 milyar. Jadi perkara itu hanya melibatkan para anggota DPR, dan semuanya telah dihukum penjara dan  semua sudah bebas.
Pada kasus korupsi berjamaah 2017, lebih dari 100 orang tercantum nama mereka sebagai penerima suap. Besarannya, masya Allah, berkisar antara  USD 13.000 sampai USD 5,5 juta. Yang tertinggi diterima oleh Anas Urbaningrum sebesar USD 5.5 juta atau sama dengan Rp 65 milyar,  dan pada urutan berikutnya Gamawan Fauzi menerima  USD 4,5 plus Rp 50 juta. Total dana e-KTP yang berpindah ke kantong para pelaku korupsi mencapai Rp 2,3 Triliiun yang menjadi kerugian Negara. Bayangkan kalau uang sebanyak itu digunakan uintuk ganti rugi tanah bagi pembangunan jalan Tol,  rata2 senilai Rp 1 juta per meter persegi, maka sepanjang 2300 km sudah berhasil dibebaskan.
Para koruptor e-KTP itu terdiri dari seluruh anggota DPR komisi II, pejabat tinggi pemerintah yang dulu dan sekarang ada yang menjabat Menteri dan  Gubernur.  Tiga petinggi dari PDI-P, seorang menjabat menteri, dan 2 gubernur ikut terlibat, karena mereka dulunya adalah anggota DPR Komisi II. Selain itu, korupsi berjamaah raksasa  ini melibatkan partai politik, tidak ada satupun yang bersih, dari partai nasionalis sampai partai Islam. Terlibat pula sejumlah unsur korporasi seperti perusahaan rekanan.
 Satu-satunya anggota DPR Komisi II yang tidak terlibat adalah hanyalah Ahok, yang tidak setuju dengan ide e-KTP.  Ahok menyarankan yang dibuat adalah KTP yang sekaligus kartu ATM dari BPD-BPD agar biayanya lebih murdah. Tapi usul Ahok itu tidak disetujui oleh Setya Novanto yang waktu itu menjabat Ketua Faksi Golkar di DPR.
Kasus korupsi berjamaah skala raksasa itu terjadi di lingkungan Kemendagri, yang dipimpin oleh Menteri Gamawan Fauzi. Ia adalah mantan Bupati Solok dua periode dan Gubernur Sumatera Barat. Waktu itu ia dikenal sebagai kepala daerah yang bersih, sehingga diganjar penghargaan oleh Yayasan Bung Hatta sebagai tokoh anti korupsi. Tapi setelah menjadi Mendagri, jika dakwaan jaksa nanti terbukti, Gamawan Fauzi sepertinya lupa diri. Ia larut dengan permainan kader partai Demokrat yang lihai, seperti Muhammad Nazaruddin dan Anas Urbaningrum. Mereka bak gurita mengembangkan lengan-lengan mereka sepertinya lengan partai untuk merampas uang Negara di berbagai kementerian.
Soalnya meski tidak lagi berpartai, Gamawan Fauzi adalah loyalis SBY. Bahkan Ia adalah gubernur yang ditugaskan SBY untuk menyampaikan pidato politik untuk pencalonan SBY menjadi capres pada 2009. Jadi ia ikuti permainan petinggi-petinggi Partai Demokrat yang serakah, Â yang sebagian sudah masuk penjara, seperti Muhammas Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Jero Wacik, Andi Alfian Malarangeng, dan Angelina Sondakh.
Sebagaimana biasa, para koruptor akan membantah habis-habisan telah menerima uang hasil korupsi. Semua membantah. Gamawan Fauzi membantah. Ganjar Pranowo, Marzuki Ali, Setya Novanto  membantah. Akan tetapi Jubir KPK, Febri Diansyah menyatakan silahkan membantah, karena nanti di persidangan bukti-bukti akan bicara.
Namun karena kasus korupsi e-KTP ini terjadi rumah gadang yang bernama Kemendagri, maka tidak mungkinlah sang Tuan Rumah, Mendagri Gamawan Fauzi tidak mengetahuinya dan tidak terlibat. Apalagi korupsi ini melibatkan tokoh-tokoh besar, seperti Marzuki Ali yang waktu itu menjabat Ketua DPR. Â Tidak mungkinlah pejabat di bawah menteri, seperti Irman (dirjen) dan Sugiharto (direktur) Â bermanuver sendiri.
Jika dakwaan jaksa benar dan terbukti, maka Gamawan Fauzi  akan menambah deretan nama menteri era SBY yang masuk penjara karena terlibat kasus korupsi. Bedanya, kasus korupsi e-KTP adalah yang terbesar dalam sejarah KPK dan bahkan  Indonesia merdeka, dan yang terbanyak dalam jumlah peserta korupsinya. Jadi Gamawan Fauzi seharusnya bisa menjadi pemegang rekor MURI, seandainya Jayaprana mau menambahkan kategori koruptor dalam rekor MURI.
Yang paling sedih dan menangis panjang tentu adalah Hj. Syofiah Amin. Ia berharap anaknya, Gamawan Fauzi bisa memberi manfaat kepada rakyat banyak. Tentu sang Ibu sangat sedih karena merasa telah gagal melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengawas anak-anaknya agar selalu di jalan yang lurus. Ia  mungkin telah mendengar berita bahwa anak kesayangannya, Gamawan Fauzi, termasuk daftar penjabat yang menerima uang hasil korupsi e-KPT, dan nantinya akan disidang dalam pengadilan Tipikor. Apalagi dalam kasus korupsi e-KTP ini, anaknya yang lain Azmin Aulia berkemungkinan besar juga terlibat dalam kasus korupsi yang sama. Mudah-mudahan beban ini masih mampu ditanggung oleh perempuan tua berumur mendekati 80 tahun itu.