Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indahnya Toleransi Antar Umat Beragama

4 Februari 2017   04:04 Diperbarui: 4 Februari 2017   05:32 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2016 yang baru sebulan berlalu dapatlah disebut sebagai tahun kelam toleransi antar umat beragama di Indonesia. Di tahun ini  terjadi kasus tuduhan penghinaan  terhadap Agama Islam, khususnya al-Quran dan para ulama. Yang dituduh adalah Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, yang tidak lain adalah Gubernur Jakarta.  Tuduhan itu kemudian diperkuat oleh pendapat keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena mendapatkan desakan dari berbagai pihak yang membenci Ahok. Dipicu oleh pendapat keagamaan MUI tersebut, maka terjadi tiga kali demo besar-besaran yang menuntut agar Ahok  segera ditahan dan dijebloskan ke penjara.

Tetapi demo besar itu terjadi lebih banyak disebabkan keberhasilan provokasi anti Ahok selaku gubernur Jakarta yang dilancarkan oleh FPI dan GNPF-MUI. Alasan utama mereka sebenarnya adalah karena Ahok berlatar belakang double minoritas, berasal dari etnis Cina dan beragama Kristen Protestan.

Dalam risalah Istiqlal yang dibacakan oleh Bachtiar Nasir, Ketua GNPF-MUI,  pada butir satunya ditegaskan anjuran agar umat Islam hanya memilih pemimpin beragama Islam saja. Haram hukumnya memilih pemimpin non muslim. Itulah pendapat dari para tokoh-tokoh Islam dan ulama, termasuk pula di dalamnya Rhoma Irama, yang sudah menyatakannya pada Pilgub DKI Jakarta pada 2012.

Keberhasilan menggerakkan ratusan ribu atau bahkan disebut jutaan umat Islam untuk mengikuti demonstrasi, menciptakan pula semacam euphoria di kalangan sebagian umat Islam radikal,  berupa  anti segala yang berbau non Islam. Ada kebencian terhadap umat non Islam. Maka istilah kafir yang ditujukan kepada non muslim semakin sering diucapkan. Bahkan sejumlah tokoh  yang sudah menyandang gelar pahlawan secara resmi oleh negara, disebut sebagai pahlawan kafir, karena foto mereka digunakan pada mata uang rupiah baru oleh Bank Indonesia. Yang menyebut demikian adalah seorang kader perempuan dari PKS, Pada hal penggunaan kata kafir di era keterbukaan sekarang  hanya akan menciptakan ketersinggungan, dan putusnya silaturrahim antar umat beragama.

Umat Islam yang tergolong radikal lalu menyerukan boikot terhadap Sari Roti, karena pemiliknya non muslim yang berani-beraninya berkata jujur, menjelaskan bahwa roti yang mereka bagikan pada saat demo besar Umat Islam pada demo 411 tidak gratis. Roti itu dibeli oleh seseorang untuk dibagikan secara gratis kepada massa demonstran.

Lalu MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya melakukan dan memakai segala atribut perayaan Natal. Tapi MUI tidak menjelaskan atribut Natal yang dimaksud. Apakah juga termasuk larangan mengucapkan salam Natal kepada para relasi, sahabat atau tetangga yang beragama Kristen.

 Saya yang muslim menilai  MUI bersikap terlalu protektif kepada umatnya, umat Islam Indonesia. Mereka terlalu khawatir interaksi umat Islam yang berlangsung dengan penganut agama lain akan melemahkan iman umat Islam, Mereka khawatir sebagian umat Islam yang lemah imannya menjadi murtad,  lalu pindah agama menjadi pemeluk agama lain. Apalagi agama lain memang mempunyai program penyebaran agama kepada pengikut agama lain, seperti kegiatan kaum nasrani, yang disebut misionaris (katholik) dan zending (protestan). Pada hal organisasi-organisasi Islam sendiri juga menyelenggarakan kegiatan penyebaran agama Islam kepada pengikut agama lain, yang disebut dengan istilah dakwah Islamiyah.

Sebenarnya tidak terjadi perpindahan agama setelah umat Islam mengucapkan salam natal kepada tetangga mereka yang beragama Kristen.  Mereka tidak menjadi Kristen hanya karena memakai  atribut Natal seperti kostum sinterklas karena bekerja di sebuah mal yang menjadikan hari raya umat beragama untuk menggenjot pemasaran produk-produk yang mereka jual. Tidak pernah terpetik berita seperti itu.

MUI mestinya bangga bahwa umat Islam Indonesia  rata-rata memiliki iman yang kuat. Selama berabad-abad, tidak pernah terdengar kabar bahwa umat Islam berduyun-duyun pindah menjadi pemeluk agama lain. Sejak berdiriya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, sekitar abad ke-13 M, penduduk Indonesia justru telah beralih menjadi pemeluk Islam. Akhirnya sekitar 90% penduduk di seluruh wilayah yang sejak 1945 disebut Indonesia, adalah pemeluk Islam yang relatif taat. Persentase jumlah umat Islam  sampai sekarang masih tetap sama,

Oleh sebab itu terbukti,  umat Islam Indonesia memiliki iman yang relatif kuat. Bahkan Belanda saja,  yang telah menjajah seluruh wilayah Indonesia selama ratusan tahun, tidak berhasil mengkristenkan  penduduk Indonesia . Pada hal Belanda mempunyai pasukan tempur dengan senjata-senjata modern. Hanya sejumlah wilayah yang  sebagian penduduknya berhasil mereka kristenkan, seperti tanah Batak, Minahasa,  NTT, Maluku dan Papua.    

Persoalan pindah agama bagi setiap pribadi adalah urusan yang sangat besar. Urusan pindah agama memang terkait dengan kadar keimanan setiap individu. Tetapi urusan ini juga terkait dengan urusan keberadaan dalam keluarga besar dan juga adat istiadat setempat yang mengharuskan warganya beragama Islam.  Adat yang berlaku di Minangkabau misalnya, adalah adat yang bersendikan syara’ (syariat Islam), dan syara’ bersendikan kitabulllah (al-Quran). Jadi setiap orang yang mengaku orang Minangkabau pastilah beragama Islam.  Jika seseorang pindah agama ke agama lain, maka ia harus pula siap mental, akan dibuang secara adat  oleh keluarga dan kaumnya dari kampung halaman dan tidak boleh kembali lagi.

Oleh sebab itu, melarang umat Islam memakai dan mengikuti atribut Natal sebagaimana difatwakan MUI, terlalu berlebihan.  Fatwa itu menjadikan interaksi dan hubungan baik selama ini antara umat Islam dan umat nasrani menjadi terganggu. Padahal  yang dilakukan hanyalah sekedar mengucapkan salam Natal. Ucapan salam itu adalah perwujudan dari silaturrahim  antar umat beragama.

Saya jadi ingat 35 tahun yang lalu. Saya tinggal di lingkungan sebuah real estate di Jakarta Barat. Di komplek perumahan itu bertempat tinggal warga dari berbagai etnis dan agama. Tetangga persis sebelah rumah saya adalah keluarga beretnis Cina dan beragama Budha. Di jalan belakang rumah ada waserba milik keluarga Batak Kristen, sebagai tempat kongko-kongko dan kasbon banyak warga komplek perumahan.

 Lalu tidak jauh dari pintu masuk ke komplek perumahan terdapat toko material milik Aseng, seorang dengan etnis Cina, yang dengan baik hati menjadi tempat mengutang material bagi warga komplek perumahan,  yang dibayar kalau sudah punya uang lagi. Dan ada banyak lagi warga komplek perumahan yang menganut agama non Islam, misalnya antara lain Ignas Kleden, budayawan yang beragama Katholik.   

Hubungan dan interaksi kami sebagai warga komplek yang memeluk beragam agama berlansung dengan sangat baik, saling menghormati  dan saling tolong.  Misalnya, tetangga sebelah rumah saya yang Cina Budha. Pada hari pertama menempati rumahnya, mereka menemukan  air dari sumur bor di rumah mereka berbau payau. 

Ia mengeluh karena air di rumahnya tidak bisa digunakan untuk memasak dan juga mandi.  Ia bertanya kepada saya,  apakah kondisi air di rumah saya juga berbau payau. Saya bilang air di rumah saya tidak berbau payau. Memahami persoalan yang dihadapi tetangga baru  itu, maka saya menawarkan kepadanya untuk memakai air dari rumah saya saja dulu sampai ia dapat menemukkan solusi air payau tersebut.  Tawaran itu mereka terima. Maka setiap sore selama beberapa bulan, mereka mengalirkan air dari rumah saya ke bak mandi dan ember-ember mereka. 

Ia membalas pertolongan saya itu dengan bercerita. Pada suatu pertemuan warga komplek perumahan, tetangga saya bercerita, sebelum tinggal di komplek perumahan itu  ia sempat khawatir, karena tetangga sebelah rumahnya semuanya pribumi muslim.  Tetapi ternyata para tetangganya  itu sangat baik semua. Bahkan selama 2 bulan lamanya, ia menikmati air dari tetangga sebelah rumah, untuk masak dan mandi, secara gratis pula.

Pada saat datang Idul Fitri, para tetangga non muslim memberikan ucapan selamat lebaran. Bahkan ada yang mengucapkannya dengan  memakai bahasa  arab  ‘minal a’idin wal faizin’. Sebaliknya, pada waktu Natalan tiba, kami yang muslim  juga memberikan  salam dan selamat hari raya Natal kepada para tetangga dan teman-teman Kristiani itu.

Saya merasa, begitulah suasana toleransi antar umat beragama yang seharusnya ditumbuhkan di mana-mana. Indonesia akan menjadi kuat karena bersatu dalam keberagaman. Meski berbeda-beda dalam agama, hubungan sosial antar warga haruslah berlangsung sangat baik dan akrab, semua saling menghormati dan saling tolong menolong.

Mengucapkan salam Natal sebenarnya adalah bagian dari silaturrahim untuk mempererat hubungan persahabatan dan toleransi, khususnya dengan kalangan non muslim. Bukankah Nabi Muhammad membolehkan umatnya melakukan hubungan yang bersifat mu’amalah dengan kalangan non muslim?.

Sekian dulu dan salam kompasiana

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun