Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kesalahan Fatal Ormas Islam dalam Memasuki Era Globalisasi

9 Januari 2017   08:34 Diperbarui: 9 Januari 2017   18:40 2527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

APBN kita belum mampu mencantumkan belanja untuk keperluan investasi guna mengelola sumberdaya alam yang melimpah itu, karena Negara tidak memiliki dana dan teknologi serta SDM-nya. Selain membutuhkan dana yang sangat besar,  kegiatan eksplorasi sumberdaya alam itu juga mengandung resiko yang cukup tinggi. Misalnya untuk  mengebor sebuah sumur migas yang belum ketahuan seberapa besar kandungannya diperlukan dana tidak kurang dari 10 juta dolar. Jika ternyata tidak ada kandungan migasnya, atau tidak ekonomis  untuk diekploitasi, maka hilang percuma dana sebesar itu.

Salah satu solusinya adalah menjalin kerjasama dengan pihak asing, yang bersedia menanggung seluruh biaya berikut resikonya. Yang perlu dikritisi adalah isi perjanjian kerjasama yang dibuat Pemerintah dengan pihak asing itu, bukannya menghitung-hitung berapa banyak usaha pengelolaan sumberdaya alam yang telah dikerjasamakan dengan pihak asing.

Sejauh ini Pemerintah sudah mempunyai regulasi yang berkaitan dengan hubungan kerjsama dengan pihak asing dalam mengelola sumberdaya alam, berupa UU Migas dan UU Minerba. Semuanya masih berjalan “on the track” karena posisi Indonesia sebagai “pemilik”, melalui perjanjian bagi hasil (production sharing).

Dalam setiap perjanjian eksplorasi dan eksploitas migas misalnya,  Pemerintah mendapatkan bagi hasil 85%. Sedangkan pihak asing sebagai “penggarap” akan mendapatkan bagian 15%.  ditambah dengan biaya operasi dan produksi yang riil yang mereka keluarkan,  yang rata-rata mencapai 25% s/d 30% dari hasil produksi. Dengan demikian, Indonesia mendapatkan hasil bersih sekitar 55% s/d 60% dari hasil usaha pertambangan migas. Jadi tidak benar anggapan kerjasama dengan pihak asing itu menggadaikan kekayaan sumberdaya alam Indonesia. Yang dilakukan pemerintah adalah menggarapnya guna mempercepat upaya meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Kesalahan berikutnya dari ormas-ormas Islam adalah ketidak-mampuan mendayagunakan potesi sumberdaya manusia  yang dimiliki untuk merebut peluang-peluang usaha ekonomi yang terbuka. NU misalnya mengklaim jumlah anggota dan simpatisan sebanyak 50 juta orang. Sedangkan Muhammadiyah mengklaim jumlah anggota dan simpatisannya 30 juta orang. Dengan potensi jumlah anggota sebesar itu, sebenarnya sangat banyak yang bisa dilakukan.  NU dan Muhammadiyah bisa mendirikan perusahaan-perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti perusahaan investasi, asuransi, ritel dan sebagainya. Caranya adalah mengajak anggota menjalin kerjasama usaha, antara lain menjadi pemegang saham perusahaan yang didirikan. Dengan kekuatan dana yang dihimpun dari anggota dan simpatisan itu, dalam hitung-hitungan di atas meja, NU dan Muhammadiyah sebenarnya bisa mendirikan sendiri atau bahkan membeli perusahaan besar yang paling menguntungkan di pasar saham.   

Akan tetapi, sayangnya para pengurus di ormas-ormas Islam umumnya berasal dari  kalangan politisi,  pegawai negeri, guru dan dosen, serta para guru besar yang tidak memiliki jiwa dan semangat kewirausahaan.  Maka peluang-peluang ekonomi yang terbuka lewat begitu saja. Misalnya,  NU dan Muhammadiyah sampai sekarang belum memiliki perusahaan-perusahaan berskala nasional yang berhasil dan dapat dibanggakan. Muhammadiyah pernah mencobanya tetapi gagal total, karena tidak didukung oleh seluruh pengurus sejak dari pimpinan pusat sampai pimpinan ranting.

NU dan Muhammadiyah belum mampu mengembangkan  gerai-gerai ritel model  Alfamart dan Indomaret. Pada hal dengan jumlah anggota dan simpatisan yang sangat besar itu, mereka bisa menjadi  pemilik dan sekaligus pelanggan tetap bagi setiap gerai outlet ritel yang didirikan. Akhirnya  ceruk pasar itu diambil alih oleh pengusaha noln muslim dengan sistem waralaba, suatu model kerjasama dan kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Pada hal Negara Singapura yang memiliki penduduk hanya 5 juta jiwa mampu mendirikan sebuah koperasi ritel raksasa dengan puluhan gerai outlet dan supermarket di seluruh pelosok Negara.

Jadi, jumlah anggota dan simpatisan yang besar tidak ada gunanya. Tidak mempunyai nilai tambah, apalagi kalau hanya digunakan untuk tujuan-tujuan politik, untuk melakukan demo besar-besaran guna melampiaskan kebencian.

Sekian dulu, salam Kompasiana

M. Jaya Nasti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun